Berintegritas Dalam Pelayanan

Sensorium yang Terdistorsi: Kegelisahan atas Krisis Modalitas Belajar di Era Digital

33

OPINIUnioKeuskupanAtambua.comSensorium yang Terdistorsi: Kegelisahan atas Krisis Modalitas Belajar di Era Digitaloleh Rm. Yudel Neno, Pr

Pendahuluan

Perkembangan dunia digital pada abad ke-21 menghadirkan kemudahan akses informasi yang tak terbatas, namun sekaligus membawa perubahan mendalam terhadap pola belajar, perilaku sensorik, dan konsentrasi akademik generasi muda.

Pergeseran dari dominasi modalitas taktil (membaca, menulis, berpikir reflektif) ke modalitas audio-visual (melihat, mendengar, mengonsumsi secara instan) mengubah cara anak-anak dan remaja berinteraksi dengan ilmu pengetahuan.

Dalam dunia yang didominasi oleh shorts, reels, TikTok, dan konten hiperinstan lainnya, terjadi banjir informasi ringan, rumor, anekdot, dan simulacra, yang menggerus kedalaman berpikir.

Dunia pendidikan kini dihadapkan pada tantangan besar: bagaimana membimbing anak-anak untuk tetap menghargai kedalaman literasi di tengah godaan dunia digital yang tak berbatas ini.

Ketika sensorium manusia – instrumen alami kita untuk memahami dunia – didominasi oleh stimulasi audio-visual cepat, maka kapasitas untuk membaca mendalam (deep reading), merenung kritis, dan memecahkan masalah kompleks menjadi tumpul. Anak-anak lebih tertarik pada tampilan yang serba cepat, lucu, dan sensasional daripada teks-teks akademik yang menuntut kesabaran, logika, dan nalar reflektif.

Fenomena ini bukan hanya perubahan teknis; ia merupakan perubahan kognitif dan spiritual. Di sekolah-sekolah, kita menyaksikan semakin menurunnya minat anak-anak untuk membaca buku, mendalami literatur, atau membahas teori-teori serius. Buku tebal kini tampak menakutkan; diskusi panjang terasa membosankan. Akibatnya, kemampuan berpikir analitis, literasi kritis, dan sensitivitas akademis anak-anak terdegradasi secara perlahan namun pasti.

Lebih ironis lagi, dunia digital tidak hanya menyediakan akses kepada kebenaran, tetapi juga membuka banjir informasi palsu, rumor liar, teori konspirasi, dan anekdot tanpa dasar. Anak-anak, tanpa panduan yang ketat, tersesat dalam dunia hiperrealitas – dunia yang lebih mengutamakan penampilan daripada kebenaran, lebih menghargai kecepatan daripada kedalaman.

Dalam kondisi ini, pendidikan formal tampak seperti perahu kecil yang rapuh, berjuang menavigasi lautan luas yang penuh badai konten instan. Guru, dosen, dan pendidik tidak lagi bersaing dengan metode belajar konvensional semata, melainkan dengan algoritma raksasa yang menghipnotis sensorium anak-anak setiap detik.

Jika fenomena ini dibiarkan tanpa intervensi, kita bukan hanya menghadapi kemunduran akademis, tetapi juga kemunduran peradaban berpikir. Generasi mendatang bisa saja lebih cepat mengakses informasi, namun semakin dangkal dalam mengolahnya.

Kesimpulan

Dunia pendidikan hari ini harus bertindak bukan hanya sebagai penyampai ilmu, melainkan juga sebagai benteng pertahanan terakhir terhadap deformasi sensorik dan kognitif anak-anak. Kita perlu menciptakan ekosistem belajar baru yang mampu mengintegrasikan dunia digital secara bijak, tanpa menyerahkan anak-anak kepada logika instanisme yang merusak.

Program literasi digital kritis, pembiasaan membaca mendalam, dan upaya memperkaya pengalaman taktil anak-anak (seperti menulis tangan, membaca buku fisik, berdiskusi langsung) harus menjadi prioritas. Tanpa itu, dunia pendidikan akan tinggal menjadi museum yang penuh kurikulum indah, namun dihuni oleh generasi yang terlalu sibuk menggulir layar untuk membaca masa depan mereka sendiri.

Leave A Reply

Your email address will not be published.