Berintegritas Dalam Pelayanan

Membangun CU Kasih Sejahtera yang Berakar pada Nilai Injili: Refleksi Kritis atas Lima Nilai Inti

62

UnioKeuskupanAtambua.comMembangun CU Kasih Sejahtera yang Berakar pada Nilai Injili: Refleksi Kritis atas Lima Nilai Intioleh Yudel Neno, Pr

Pendahuluan

Credit Union (CU) Kasih Sejahtera Keuskupan Atambua lahir dari semangat untuk menghadirkan kesejahteraan yang berkeadilan dan berbasis pada nilai-nilai iman Kristiani. Sebagai lembaga keuangan berbasis komunitas, CU bukan sekadar tempat simpan pinjam, melainkan ruang pembentukan karakter, spiritualitas, dan solidaritas sosial. Lima nilai inti – Sehati-Sepikir, Gotong Royong, Saling Menghargai, Jujur dan Terbuka, serta Saling Menolong – menjadi fondasi etis sekaligus kompas moral yang membimbing setiap langkah komunitas ini. Dalam refleksi ini, nilai-nilai tersebut ditelaah secara kritis, dikaitkan dengan ajaran Kitab Suci, dan dihubungkan dengan realitas konkret yang dihadapi oleh CU masa kini. Harapannya, tulisan ini menjadi bahan renungan dan penyegaran visi bagi seluruh anggota dan penggerak CU Kasih Sejahtera.

Sehati-Sepikir

Kesatuan hati dan pikiran menjadi fondasi keberlangsungan hidup bersama yang harmonis dalam komunitas. Dalam Filipi 2:2, Paulus menasihatkan, “Hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa dan satu tujuan.” Ayat ini menegaskan bahwa keharmonisan internal memampukan setiap anggota untuk bergerak bersama dalam arah yang selaras. Dalam konteks CU, kesatuan ini menghindarkan perpecahan dan memperkuat daya juang kolektif. Namun, dalam praktiknya, tantangan ego, kepentingan pribadi, dan ketidakpedulian sering kali menjadi penghambat.

Kesatuan bukan berarti keseragaman; sebaliknya, ia mengakui keragaman sebagai kekayaan yang disatukan dalam visi bersama. Akal menjadi sumber kebenaran sejauh ia tunduk pada kebijaksanaan ilahi, bukan pada kepentingan pragmatis. Hati yang terarah kepada kebaikan akan menciptakan kepekaan sosial yang tinggi dalam pelayanan ekonomi berbasis iman. Maka, CU Kasih Sejahtera harus terus memelihara dialog terbuka dan evaluasi batin yang jujur demi menjaga kesatuan ini. Tantangannya adalah meminimalkan konflik kepentingan dan memaksimalkan pengertian bersama.

Kritik utama terhadap nilai ini adalah bahaya manipulasi emosional demi “sehati-sepikir” yang semu, yang justru menekan kejujuran. Persatuan yang dipaksakan dapat menghasilkan ketakutan dan kepatuhan buta. Oleh karena itu, setiap anggota hendaknya membangun kesatuan bukan dalam tekanan, tetapi dalam kesadaran dan kasih. Komunitas seharusnya menjadi tempat belajar berpikir kritis dalam cinta, bukan sekadar mengikuti arus. Kesatuan dalam Roh Kudus akan menghasilkan harmoni yang otentik dan transformasional.

Gotong Royong

Gotong royong adalah semangat kerja bersama yang menyatukan daya dan rasa demi tujuan kolektif. Dalam Galatia 6:2, tertulis, “Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus.” Nilai ini mengangkat pentingnya kontribusi aktif dan kesukarelaan setiap anggota, tanpa pamrih dan tanpa menunggu imbalan. Dalam CU, gotong royong bukan hanya aktivitas fisik, tapi juga komitmen moral terhadap kesejahteraan bersama. Tanpa gotong royong, CU akan kehilangan jiwa sosialnya.

Secara teologis, kerja kolektif adalah manifestasi cinta kasih yang konkret dan terukur. Ketika setiap orang merasa dirinya bagian dari proses, maka tidak ada ruang untuk pasivitas atau sikap masa bodoh. Ini menantang budaya individualistik dan konsumerisme yang menyusup ke dalam pola pikir umat beriman. Gotong royong menumbuhkan rasa memiliki, memperkuat partisipasi, dan mempercepat pertumbuhan CU. Namun, kelelahan emosional dan ketimpangan partisipasi kerap menjadi tantangan tersendiri.

Kritiknya, gotong royong dapat berubah menjadi beban jika tidak dikelola secara adil dan transparan. Ketika beban tidak terbagi merata, muncul kekecewaan dan perpecahan diam-diam. Maka, diperlukan evaluasi dan apresiasi yang proporsional agar semangat ini tidak padam. Gotong royong sejati bukanlah kerja paksa, melainkan perwujudan kasih yang bekerja. Dalam semangat Kristus yang melayani, gotong royong menjadi kekuatan pembebas.

Saling Menghargai

Sikap saling menghargai merupakan dasar dari hubungan yang sehat dalam komunitas yang beragam. Roma 12:10 menyatakan, “Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat.” Penghargaan bukanlah pengakuan atas keberhasilan saja, melainkan penerimaan terhadap keberadaan orang lain. Dalam CU, penghargaan terhadap sesama menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan spiritual dan ekonomi bersama. Ketika penghargaan hadir, kepercayaan tumbuh dan konflik mudah diselesaikan.

Nilai ini memanggil setiap anggota untuk menanggalkan superioritas pribadi dan membuka ruang dialog. Banyak konflik muncul bukan karena perbedaan pendapat, melainkan karena ketidaksediaan untuk menghargai pendapat lain. Dalam CU, saling menghargai juga berarti mendengar dengan empati, memberi ruang bagi yang lemah, dan menghindari sikap eksklusif. Nilai ini menumbuhkan inklusivitas dan solidaritas sejati. Maka, kepemimpinan dan anggota perlu saling mendewasakan dalam kebiasaan menghormati sesama.

Namun, penghargaan bisa menjadi formalitas kosong jika tidak diiringi sikap batin yang tulus. Menyapa dengan ramah, tetapi merendahkan dalam hati adalah bentuk kemunafikan yang merusak nilai ini. Oleh karena itu, CU perlu memperkuat budaya pembinaan karakter dan spiritualitas. Penghargaan sejati berakar pada kesadaran bahwa setiap orang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Dari sinilah penghormatan terhadap martabat manusia memperoleh dasar ilahi.

Jujur dan Terbuka

Kejujuran dan keterbukaan adalah pilar etika Kristen yang menjamin integritas pribadi dan lembaga. Amsal 12:22 mengatakan, “Orang yang dusta adalah kekejian bagi TUHAN, tetapi orang yang berlaku setia dikenan-Nya.” Dalam CU, kejujuran bukan hanya soal uang, tapi juga tentang niat, transparansi, dan kesediaan untuk bertanggung jawab. Keterbukaan menciptakan suasana yang kondusif untuk kepercayaan dan perbaikan berkelanjutan. Tanpa dua nilai ini, lembaga akan cepat mengalami degradasi moral dan krisis kredibilitas.

Jujur berarti berkata benar walaupun pahit, sedangkan terbuka berarti bersedia dikoreksi demi pertumbuhan bersama. Keduanya saling melengkapi dalam membangun tata kelola yang sehat. Dalam komunitas CU, jujur dan terbuka berarti menyediakan ruang bagi evaluasi dan komunikasi yang sehat. Ini menuntut kedewasaan spiritual dan intelektual untuk mengakui kesalahan dan belajar darinya. Nilai ini juga menumbuhkan budaya pengampunan dan pembaruan.

Kritiknya, seringkali keterbukaan hanya dipakai sebagai strategi komunikasi, bukan sebagai ekspresi kejujuran batin. Dalam praktik, orang cenderung menyembunyikan kelemahan atau bersikap defensif terhadap kritik. Maka, CU perlu menanamkan bahwa kebenaran membebaskan (Yohanes 8:32), bukan menghukum. Nilai ini harus dihidupi dalam keseharian, bukan hanya dalam pelaporan tahunan. Sebab Tuhan menyukai integritas, bukan pencitraan.

Saling Menolong

Semangat saling menolong menjadi roh pelayanan sosial yang melandasi keberadaan CU. Dalam Ibrani 13:16 dikatakan, “Dan janganlah kamu lupa berbuat baik dan memberi bantuan, sebab korban-korban yang demikianlah yang berkenan kepada Allah.” CU bukan hanya tempat simpan pinjam, tetapi komunitas iman yang mempraktikkan kasih dalam tindakan konkret. Saling menolong memperkecil kesenjangan dan mempercepat pemerataan kesejahteraan. Ini mencerminkan wajah Allah yang peduli dan murah hati.

Menolong bukan soal kemampuan, tetapi soal kemauan. Dalam CU, tindakan saling menolong harus terorganisir, terukur, dan berkelanjutan. Ini melibatkan sistem solidaritas, dana darurat, dan intervensi sosial berbasis nilai Injili. Saling menolong juga harus dilakukan tanpa diskriminasi dan tanpa perhitungan untung rugi. Kesediaan untuk memberi dari kekurangan adalah bentuk tertinggi dari kasih yang melayani.

Namun, nilai ini bisa disalahgunakan jika tidak dibarengi dengan tanggung jawab penerima bantuan. Saling menolong bukan berarti memelihara ketergantungan, tetapi memampukan orang lain menjadi mandiri. Maka, pendidikan dan pendampingan menjadi bagian penting dari proses pertolongan. Dengan demikian, CU bukan hanya menolong secara materi, tetapi juga membebaskan secara holistik. Kasih yang menolong adalah kasih yang membangun dan memberdayakan.

Kesimpulan

Lima nilai inti CU Kasih Sejahtera bukan sekadar prinsip teoritis, melainkan panggilan konkret untuk menghidupi Injil dalam ranah sosial-ekonomi. Nilai-nilai ini saling terkait dan membentuk suatu ekosistem spiritual dan moral yang mendukung pertumbuhan bersama. Dalam semangat sehati-sepikir, gotong royong, saling menghargai, jujur dan terbuka, serta saling menolong, CU menjadi tanda kehadiran Allah yang hidup dalam dunia yang haus akan keadilan dan kasih. Namun, implementasi nilai-nilai ini menuntut komitmen, refleksi terus-menerus, dan keberanian untuk berubah. CU Kasih Sejahtera hanya akan bertumbuh secara berkelanjutan jika seluruh anggotanya bersedia menjadi pelaku nilai-nilai ini dengan rendah hati, kritis, dan penuh semangat injili.

oleh Rm. Yudel Neno, Pr

Leave A Reply

Your email address will not be published.