Berintegritas Dalam Pelayanan

Si Bungsu yang Hilang dan Sukacita Sang Ayah sebagai Model Spiritualitas di Minggu Laetare

329

UnioKeuskupanAtambua.comSi Bungsu yang Hilang dan Sukacita Sang Ayah sebagai Model Spiritualitas di Minggu Laetare Hari Minggu Laetare, Minggu ke-IV Prapaskah tahun C – 30 Maret 2025oleh Rm. Yudel Neno, Pr

Hari Minggu keempat dalam Masa Prapaskah disebut Minggu Laetare. Laetare berarti “bersukacita”. Sukacita yang dimaksud mencakup tiga makna, yaitu penghiburan, pengharapan, dan kasih. Pertama, sukacita ini mengingatkan kita bahwa Paskah akan segera tiba, dan dengan demikian nuansa tobat yang ada dalam Masa Prapaskah akan segera berakhir. Kedua, bagi mereka yang berharap, tidak akan dikecewakan. Ketiga, bagi orang yang memiliki kasih, balasan yang indah akan segera diberikan kepada mereka.

Memaknai Laetare berdasarkan Teks Yosua, 5:9a.10-12

Siapa itu Yosua? 

Yosua adalah tokoh kunci dalam perjuangan untuk membebaskan bangsa Israel dari penjajahan Mesir. Nama Yosua berarti “Tuhan adalah keselamatan.” Yosua awalnya adalah asisten Musa. Dikisahkan bahwa pada akhirnya, Musa hanya dapat menatap dari puncak Gunung Nebo, sementara Yosualah yang bersama bangsa Israel memasuki Tanah Perjanjian, yang dikenal sebagai Tanah Kanaan. Setelah Musa meninggal, Yosua diangkat menjadi pemimpin bangsa Israel, menggantikan posisi Musa.

Berkemah di Gilgal; Suatu Sukacita Awal

Gilgal merupakan tempat pertama di Kanaan yang dijadikan perkemahan setelah bangsa Israel menyeberangi Sungai Yordan. Oleh karena itu, Gilgal disebut sebagai tempat di mana rahmat Yahweh pertama kali dialami sebagai pintu gerbang menuju Tanah Kanaan secara keseluruhan.

Di tempat ini, bangsa Israel mulai memakan hasil bumi Kanaan dan tidak lagi bergantung pada manna. Peristiwa ini menandai peralihan sumber makanan mereka, yang semula berasal langsung dari Allah selama di padang gurun, kini diperoleh secara mandiri dari tanah yang dijanjikan.

Selain itu, di Gilgal diceritakan bahwa mereka yang belum disunat—sebagai tanda pemurnian dan perjanjian dengan Allah—akhirnya menjalani penyunatan, meneguhkan kembali hubungan mereka dengan-Nya.

Di Gilgal, bangsa Israel juga merayakan Paskah, yang berlangsung pada hari keempat belas bulan itu. Perayaan ini merupakan ungkapan syukur kepada Tuhan atas karya keselamatan yang telah dikaruniakan kepada mereka. Paskah menandai bahwa mereka telah terbebas dari penderitaan di padang gurun, di mana mereka hanya mengandalkan manna, dan kini dapat menikmati hasil dari tanah Kanaan sebagai bentuk penyelamatan yang baru.

Setelah perayaan Paskah, mereka makan roti tidak beragi dan bertih gandum. Sejak saat itu, manna tidak lagi turun, karena bangsa Israel mulai hidup dari hasil bumi Kanaan, tanah yang telah dijanjikan Tuhan kepada mereka.

Makna Laetare Berdasarkan Kisah Yosua dan Gilgal

Laetare, yang berarti Bersukacitalah, adalah peringatan dalam tradisi Kristiani yang mengundang umat beriman untuk bersukacita di tengah perjalanan menuju keselamatan. Laetare mengandung makna harapan dan penyegaran rohani, yang sejalan dengan kisah Yosua dan pengalaman bangsa Israel di Gilgal.

Sukacita dalam Perjalanan Menuju Tanah Perjanjian

Bangsa Israel telah menempuh perjalanan panjang di padang gurun, menghadapi berbagai tantangan dan ketergantungan pada manna sebagai makanan dari Allah. Namun, di Gilgal, mereka mengalami titik balik: mereka tidak hanya tiba di Tanah Perjanjian tetapi juga mulai menikmati hasil bumi Kanaan. Hal ini mencerminkan makna Laetare, yaitu penghiburan dan sukacita dalam perjalanan iman, di mana umat diingatkan bahwa janji Allah selalu ditepati.

Perayaan sebagai Wujud Syukur

Di Gilgal, bangsa Israel merayakan Paskah sebagai ungkapan syukur atas karya keselamatan Tuhan. Paskah di sini bukan hanya perayaan historis tetapi juga simbol transisi dari penderitaan menuju kebebasan, dari ketergantungan kepada kepercayaan diri yang lahir dari anugerah Tuhan. Dalam konteks Laetare, umat diajak untuk bersyukur atas penyertaan Tuhan dalam hidup, meskipun masih berada dalam perjalanan menuju kepenuhan keselamatan.

Penyucian dan Pembaharuan Diri

Penyunatan di Gilgal menandai pembaruan perjanjian dengan Allah dan pemurnian rohani bagi mereka yang belum disunat. Ini mencerminkan makna Laetare dalam perjalanan Prapaskah, di mana umat diajak untuk memperbaharui iman dan meneguhkan kembali komitmen kepada Tuhan. Sukacita dalam Laetare bukan sekadar perasaan gembira, tetapi lahir dari kesadaran akan kasih dan rahmat Tuhan yang memulihkan dan menyucikan.

Peralihan dari Ketergantungan kepada Kedewasaan Iman

Ketika manna berhenti turun, bangsa Israel mulai mengusahakan makanan dari tanah yang mereka tempati. Ini adalah simbol kedewasaan iman—mereka tidak lagi hanya menerima secara pasif, tetapi juga berpartisipasi dalam karya Allah. Dalam Laetare, umat diajak untuk menyadari bahwa rahmat Tuhan tetap menyertai, tetapi mereka juga harus bertumbuh dalam iman dan bertanggung jawab atas perjalanan rohani mereka.

Kisah Yosua dan perkemahan di Gilgal mengajarkan bahwa Laetare bukan sekadar momen istirahat, tetapi undangan untuk melihat kembali bagaimana Tuhan telah membimbing, memberi harapan, dan menuntun menuju kehidupan baru. Laetare adalah panggilan untuk bersukacita dalam perjalanan iman, dengan keyakinan bahwa janji Tuhan akan digenapi dan keselamatan sudah semakin dekat.

Laetare perspektif Teks 2 Korintus, 5:17-21

Kristus adalah jembatan perdamaian bagi kita. Di dalam Dia, manusia lama diubah menjadi manusia baru. Perubahan ini merupakan konsekuensi teologis dari perdamaian dengan Allah, di mana manusia yang berdamai dengan-Nya menerima rahmat baru, yakni rahmat pengampunan.

Perdamaian dengan Allah tidak terjadi atas usaha manusia sendiri, melainkan karena belas kasihan Allah. Itulah sebabnya dikatakan bahwa Allah berdamai dengan kita melalui Kristus, tanpa memperhitungkan pelanggaran-pelanggaran kita. Dalam rekonsiliasi ini, kita dibenarkan di hadapan Allah, bukan karena kebaikan atau usaha kita, tetapi semata-mata karena anugerah-Nya.

Menjadi benar di hadapan Allah berarti menyadari keterbatasan dan keberdosaan kita. Kebenaran itu bukan berasal dari manusia, melainkan merupakan pembenaran yang dianugerahkan oleh Allah melalui Kristus. Dengan demikian, keselamatan dan perdamaian dengan Allah adalah hasil dari kasih dan belas kasihan-Nya, bukan dari perbuatan manusia, melainkan dari karya penebusan Kristus.

Makna Laetare dalam Perspektif 2 Korintus 5:17-21

Laetare, yang berarti “Bersukacitalah,” adalah perhentian sukacita dalam perjalanan Prapaskah. Minggu Laetare menandai momen harapan di tengah pertobatan, menegaskan bahwa rahmat dan keselamatan adalah karya Allah yang mendamaikan manusia dengan diri-Nya. Dalam terang 2 Korintus 5:17-21, makna Laetare dapat dijelaskan melalui beberapa aspek teologis berikut:

Kristus sebagai Jembatan Perdamaian

Paulus menegaskan bahwa dalam Kristus, manusia lama ditinggalkan dan manusia baru lahir (2Kor 5:17). Ini menunjukkan bahwa karya penyelamatan Allah membawa perubahan radikal bagi manusia: dari keadaan terpisah karena dosa menjadi manusia baru yang hidup dalam kasih karunia. Perubahan ini bukan hasil usaha manusia, melainkan anugerah dari Allah yang mendamaikan manusia dengan diri-Nya melalui Kristus (2Kor 5:18). Laetare adalah ungkapan sukacita karena kita telah diperdamaikan dengan Allah melalui Kristus.

Rahmat Pengampunan sebagai Inti Perdamaian

Ayat 19 menegaskan bahwa Allah “tidak memperhitungkan pelanggaran-pelanggaran kita.” Ini mencerminkan belas kasihan Allah yang tanpa batas, yang memungkinkan manusia berdamai dengan-Nya. Pengampunan ini bukan sekadar tindakan hukum, tetapi anugerah yang membentuk manusia baru. Laetare mengajak umat beriman untuk bersukacita dalam rahmat pengampunan ini, karena keselamatan yang dijanjikan bukan karena jasa manusia, tetapi karena inisiatif Allah dalam Kristus.

Pembenaran oleh Allah dalam Kristus

Paulus menutup perikop ini dengan pernyataan mendalam bahwa Kristus yang tidak berdosa dibuat menjadi dosa bagi kita, supaya kita menjadi kebenaran Allah dalam Dia (2Kor 5:21). Ini menandakan bahwa pembenaran bukanlah pencapaian manusia, tetapi anugerah Allah. Manusia diubah dari keadaan hina menjadi benar di hadapan Allah karena karya Kristus. Oleh karena itu, Laetare adalah seruan sukacita atas pembenaran ini, bahwa dalam Kristus kita telah diperbarui dan hidup dalam kasih karunia.

Minggu Laetare, dalam perspektif 2 Korintus 5:17-21, adalah perayaan sukacita dalam perjalanan iman. Kristus adalah jembatan perdamaian yang mengubah manusia lama menjadi manusia baru. Dalam perdamaian dengan Allah, kita menerima rahmat pengampunan dan dibenarkan bukan karena usaha kita, tetapi karena kasih karunia Allah dalam Kristus. Oleh karena itu, Laetare bukan sekadar sukacita emosional, tetapi sukacita teologis yang berakar dalam pengampunan dan pembaruan hidup oleh Allah.

Laetare perspektif Injil Lukas, 15:1-3.11-32

Dikisahkan bahwa para pemungut cukai dan orang-orang berdosa datang kepada Yesus untuk mendengarkan-Nya. Lebih dari itu, mereka bukan baru pertama kali datang, melainkan sudah terbiasa mendatangi-Nya. Hal ini menunjukkan bahwa kedatangan mereka bukan sekadar peristiwa sekali terjadi, melainkan sebuah kebiasaan yang berulang kali dilakukan.

Menarik bahwa orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat bersungut-sungut, meskipun tidak disebutkan secara eksplisit kepada siapa mereka mengeluh. Namun, jelas bahwa sasaran keluhan mereka adalah Yesus. Mereka merasa keberatan karena, menurut pandangan mereka, Yesus menerima dan makan bersama dengan para pemungut cukai dan orang-orang berdosa.

Pernyataan dan sikap orang-orang Farisi serta ahli Taurat menunjukkan seolah-olah mereka sendiri tidak berdosa. Mereka dengan mudah melimpahkan stigma dosa kepada para pemungut cukai dan orang-orang yang mereka anggap tidak layak. Sikap ini mencerminkan kecenderungan mereka untuk menghakimi orang lain, tanpa menyadari bahwa mereka juga membutuhkan belas kasih dan pengampunan Allah.

Terhadap sikap bersungut-sungut dari orang-orang Farisi dan ahli Taurat, serta terhadap kenyataan bahwa para pemungut cukai dan orang-orang berdosa diterima, Yesus mengajukan salah satu perumpamaan paling bernas dalam Injil Lukas, yaitu perumpamaan tentang Anak yang Hilang.

Dikisahkan bahwa ada seorang ayah, meskipun tidak disebutkan secara spesifik siapa dia. Ayah tersebut memiliki dua orang anak dengan status sebagai anak sulung dan anak bungsu.

Suatu hari, si bungsu meminta bagian harta warisan yang menjadi haknya. Sang ayah pun memenuhi permintaannya dan membagikan harta tersebut. Menariknya, disebutkan bahwa harta itu dibagikan kepada mereka, meskipun tidak ada keterangan bahwa si sulung juga meminta bagian sebelumnya.

Dalam perumpamaan ini, terdapat perbedaan yang jelas dalam perilaku antara si sulung dan si bungsu. Namun, meskipun mereka menunjukkan sikap yang berbeda, kasih dan belas kasih sang ayah tetap sama bagi keduanya.

Perilaku dan Karakter Si Bungsu

Setelah menerima bagian harta warisan dari ayahnya, si bungsu segera menjual seluruh miliknya dan pergi ke negeri yang jauh. Keputusan ini mencerminkan keinginannya untuk melepaskan diri sepenuhnya dari keluarganya, tanpa rasa sesal di awal. Harta warisan bukan sekadar kekayaan, tetapi juga simbol ikatan dengan ayah dan keluarganya. Dengan menjual dan menghamburkan harta tersebut, si bungsu secara tidak langsung memutuskan hubungannya dengan ayah dan saudaranya. Namun, penyesalan baru datang ketika ia telah jatuh dalam kehidupan yang penuh kesenangan sesaat dan berakhir dengan kehancuran.

Gaya hidupnya yang boros membawa malapetaka ketika terjadi kelaparan hebat di negeri itu. Ia kehilangan segalanya dan jatuh dalam kemiskinan. Dalam keadaan terdesak, ia bekerja pada seorang majikan yang menyuruhnya menjaga babi. Bagi orang Ibrani, pekerjaan ini melambangkan kehinaan, kemurtadan, serta hilangnya martabat sebagai anak dalam hubungan dengan bapanya. Bahkan, ia begitu lapar hingga ingin makan ampas makanan babi, tetapi tidak ada yang memberikannya. Keadaan ini menggambarkan betapa tragisnya nasib seseorang yang menjauh dari Bapa, baik secara lahiriah maupun spiritual. Menjauh dari Bapa berarti kehilangan kasih, perlindungan, dan berkat yang sejati.

Namun, kehebatan si bungsu terletak pada kesadarannya akan kesalahan yang telah ia perbuat. Ia menyadari bahwa ia telah tersesat dan berdosa, sehingga timbul keinginan untuk kembali kepada bapanya. Dalam hatinya, ia tidak lagi merasa layak disebut sebagai anak, melainkan hanya sebagai seorang upahan. Kerendahan hati dan pengakuan atas kesalahan inilah yang menjadi titik balik dalam hidupnya, membuka jalan bagi pemulihan dan belas kasih bapanya.

Seperti Apa Respon Bapanya?

Ketika melihat anaknya dari kejauhan, sang bapa segera tergerak oleh belas kasihan. Menarik untuk diperhatikan bahwa sebelum si bungsu sempat menyampaikan niatnya yang telah direncanakan, sang bapa sudah terlebih dahulu bertindak. Ia berlari mendapatkan anaknya, merangkul, dan mencium dengan penuh kasih. Tindakan ini menunjukkan bahwa kasih sang bapa tidak pernah pudar, bahkan setelah si bungsu meninggalkannya dan jatuh dalam kehinaan.

Tidak hanya itu, sang bapa juga mengambil langkah nyata untuk memulihkan status anaknya. Atas perintahnya, si bungsu dikenakan jubah terbaik, cincin pada jarinya, dan sepatu pada kakinya. Simbol-simbol ini memiliki makna mendalam: jubah terbaik menandakan kehormatan yang dipulihkan, cincin melambangkan otoritas dan keanggotaan dalam keluarga, sedangkan sepatu menandakan bahwa ia bukan lagi seorang hamba, melainkan tetap seorang anak.

Sebagai puncak dari kegembiraannya, sang bapa memerintahkan agar lembu tambun disembelih untuk merayakan kepulangan anaknya. Perayaan ini bukan sekadar pesta biasa, melainkan sebuah ungkapan sukacita karena si bungsu, yang sebelumnya dianggap telah “mati,” kini hidup kembali; yang sempat hilang, kini telah ditemukan.

Respon sang bapa mencerminkan kasih yang tanpa syarat dan pengampunan yang total. Ia tidak menuntut penjelasan panjang atau syarat apa pun dari si bungsu, melainkan langsung menerimanya kembali dengan penuh kasih dan sukacita. Hal ini menunjukkan bahwa kasih sejati selalu membuka ruang untuk pertobatan dan pemulihan, tanpa mengungkit kesalahan di masa lalu.

Makna Pengenaan Jubah, Cincin dan Sepatu

Jubah – Pemulihan Martabat dan Status

Dalam budaya Yahudi, jubah melambangkan kehormatan dan identitas keluarga. Seorang hamba atau budak tidak mengenakan jubah yang layak, sementara seorang anak dalam keluarga memiliki pakaian yang mencerminkan martabatnya. Dengan mengenakan kembali jubah terbaik kepada si bungsu, bapa menegaskan bahwa anak ini tidak lagi dianggap sebagai orang asing atau budak, melainkan tetap sebagai anak yang sah dalam keluarga. Ini adalah wujud belas kasih yang tidak hanya mengampuni, tetapi juga mengembalikan kehormatan yang telah hilang.

Cincin – Pemulihan Kuasa dan Warisan

Dalam budaya Timur Dekat kuno, cincin memiliki makna yang mendalam sebagai simbol otoritas dan hak waris. Dalam Kejadian 41:42, Firaun memberikan cincin kepada Yusuf sebagai tanda kekuasaan dan kepercayaan. Demikian pula, ketika bapa memberikan cincin kepada anak bungsunya, ia menegaskan bahwa anak ini tetap memiliki tempat dalam keluarga dengan segala hak dan tanggung jawabnya. Tindakan ini menunjukkan bahwa pengampunan yang diberikan bukan sekadar penerimaan kembali, tetapi juga pemulihan secara penuh dalam kasih dan kepercayaan.

Sepatu – Kebebasan dan Identitas sebagai Anak

Dalam masyarakat Yahudi, budak atau hamba biasanya berjalan tanpa alas kaki, sementara anak atau orang merdeka memakai sepatu. Dengan mengenakan kembali sepatu kepada anak bungsunya, bapa menandakan bahwa ia telah dibebaskan dari status kehinaan dan dipulihkan sebagai anggota keluarga yang sejati. Sepatu menjadi simbol bahwa ia tidak lagi berada dalam keterasingan atau perbudakan akibat kesalahannya, tetapi kini kembali memiliki kebebasan dan identitas sebagai anak.

Reaksi Si Sulung dan Respon Bapa?

Si sulung merasa marah—dan benar-benar marah. Ia merasa bahwa bapanya tidak adil, seolah-olah pilih kasih terhadap si bungsu yang telah menghambur-hamburkan harta dengan hidup foya-foya. Dalam pikirannya, ia telah setia bekerja, menghabiskan hari-harinya bersama bapa, namun seakan-akan pengorbanannya tidak dihargai. Baginya, perhatian dan sukacita bapa tampak lebih besar bagi si bungsu yang tidak bertanggung jawab daripada dirinya yang selama ini setia.

Namun, bagaimana respons bapa terhadap kemarahan anak sulung ini?

Belas Kasih yang Sama bagi Keduanya

Bapa bertindak dengan kebijaksanaan dan kasih yang sama seperti saat menyambut si bungsu. Ia keluar menemui anak sulungnya dan berbicara kepadanya dengan penuh kelembutan. Ini menunjukkan bahwa bapa mengambil langkah lebih awal kepada kedua anaknya tanpa membeda-bedakan mereka. Baik si bungsu yang tersesat maupun si sulung yang marah, keduanya tetap anaknya yang memiliki martabat yang sama.

Dalam menghadapi kemarahan si sulung, bapa mengatakan dengan penuh kasih: “Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu.”

Pernyataan Si Bapa tidak hanya menenangkan, tetapi juga mengajarkan makna kebersamaan dalam keluarga. Dalam hukum Yahudi (Ul. 21:17), anak sulung memang berhak atas warisan ganda. Namun, bapa ingin menegaskan bahwa yang lebih penting daripada warisan adalah persaudaraan. Sukacita utama bukan terletak pada harta, melainkan dalam pertobatan dan kembalinya seseorang kepada Allah, seperti yang dialami si bungsu.

Kontras antara Si Bungsu dan Si Sulung: Dua Karakter yang Mewakili Dua Golongan

Jika dilihat dari karakter teks, anak bungsu diasosiasikan dengan orang-orang berdosa dan para pemungut cukai—mereka yang tersesat dalam hidup, namun masih mendapat tempat di hati Yesus. Seperti anak bungsu yang meninggalkan rumah dan hidup dalam dosa, mereka pun dipandang rendah oleh masyarakat. Namun, ketika bertobat dan kembali kepada Allah, mereka diterima dengan sukacita.

Sebaliknya, si sulung mewakili sikap ahli Taurat dan orang Farisi. Mereka merasa diri benar, setia pada aturan, tetapi kehilangan esensi kasih dan belas kasihan. Mereka marah ketika Yesus menerima para pendosa, sebagaimana si sulung marah karena bapa menyambut si bungsu dengan sukacita. Mereka lebih sibuk dengan keadilan versi mereka sendiri daripada merayakan kasih karunia yang Allah berikan kepada yang bertobat.

Tindakan Bapa sebagai Pelajaran Utama: Sukacita Laetare

Puncak dari kisah ini adalah tindakan bapa yang menunjukkan belas kasih yang aktif dan partisipatif. Ketika si bungsu kembali, ia disambut dengan pelukan, jubah terbaik, cincin, dan sepatu—tanda pemulihan martabatnya. Namun, ketika si sulung berada di luar rumah dengan kemarahannya, bapa pun keluar untuk menemuinya.

Perhatikan bahwa ada dua situasi berbeda; Yang pertama ; Si bungsu berada di dalam rumah, dalam sukacita pertobatan dan penerimaan, dan yang kedua: Si sulung tetap berada di luar rumah, dalam kemarahan dan kebingungan.

Namun, bapa tidak membiarkan salah satu dari mereka terabaikan. Ia masuk ke dalam rumah untuk menyambut si bungsu, dan ia keluar dari rumah untuk menemui si sulung. Ini menandakan bahwa kasih bapa tidak hanya bersifat pasif, tetapi aktif dalam mencari dan merangkul kembali setiap anaknya, baik yang tersesat maupun yang merasa benar sendiri.

Pada akhirnya, sukacita terbesar bukan hanya karena si bungsu kembali, tetapi karena belas kasih bapa yang mencerminkan kasih Allah. Kisah ini mengajarkan makna sejati dari Laetare—sukacita dalam pertobatan dan kembalinya manusia kepada Allah, yang selalu menanti dengan tangan terbuka.

Makna Laetare dalam Perspektif Injil Lukas 15:1-3, 11-32

Dalam terang Injil Lukas 15:1-3, 11-32, yang berisi perumpamaan tentang anak yang hilang, Laetare menjadi momen untuk merenungkan sukacita ilahi dalam rekonsiliasi dan pemulihan hubungan manusia dengan Allah.

Allah sebagai Bapa yang Penuh Belas Kasihan

Dalam perumpamaan ini, Bapa melambangkan Allah yang penuh belas kasih. Meskipun sang anak bungsu memberontak, pergi jauh, dan menyia-nyiakan hidupnya dalam dosa, kasih Bapa tetap menunggu. Ketika anak itu menyadari kesalahannya dan kembali, sang Bapa berlari menyambutnya dengan pelukan dan ciuman. Sikap ini menunjukkan bahwa Allah tidak hanya menunggu pertobatan, tetapi juga aktif mencari dan menerima kembali orang berdosa dengan sukacita. Sukacita dalam Laetare adalah sukacita seorang Bapa yang penuh belas kasih, yang dengan murah hati menyambut anak-anak-Nya kembali tanpa syarat.

Pertobatan sebagai Jalan Menuju Sukacita

Anak bungsu mengalami pertobatan sejati: dari keangkuhan menuju kerendahan hati. Ia menyadari bahwa kehidupannya dalam dosa membawa kehancuran, dan ia mengambil keputusan untuk kembali kepada Bapanya. Ketika ia berkata, “Bapa, aku telah berdosa terhadap surga dan terhadap Bapa” (Luk 15:21), ia mengakui dosa dan menyatakan keinginannya untuk diperbarui. Sukacita sejati lahir dari pertobatan yang membawa kita kembali ke dalam kasih Allah.

Sukacita dalam Pengampunan dan Rekonsiliasi

Puncak perumpamaan ini adalah perayaan besar yang diadakan oleh sang Bapa untuk menyambut anaknya yang kembali. Ia mengenakan jubah terbaik, memberi cincin, dan menyembelih anak lembu tambun sebagai tanda kegembiraan. Ini menunjukkan bahwa pertobatan seseorang tidak hanya membawa damai bagi dirinya sendiri, tetapi juga menghadirkan sukacita bagi seluruh komunitas iman. Sukacita dalam Laetare adalah sukacita pengampunan dan rekonsiliasi, yang bukan hanya membarui individu, tetapi juga menghidupkan kembali relasi dengan Allah dan sesama.

Peringatan bagi Anak Sulung: Jangan Menolak Sukacita

Sikap anak sulung yang iri hati mencerminkan tantangan bagi orang-orang yang merasa lebih benar dibandingkan orang lain. Ia tidak mau ikut dalam perayaan karena merasa lebih layak daripada adiknya yang berdosa. Namun, sang Bapa mengundangnya untuk berbagi dalam sukacita: “Kita harus bersukacita dan bergembira, karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, telah hilang dan didapat kembali” (Luk 15:32). Laetare mengajak kita untuk tidak menjadi seperti anak sulung yang menolak bersukacita atas pertobatan orang lain, melainkan untuk ikut dalam perayaan belas kasih Allah.

Kesimpulan

Perumpamaan tentang Anak yang Hilang dalam Lukas 15:1-3, 11-32 menggambarkan kasih Bapa yang tanpa syarat, kerahiman-Nya yang tak terbatas, serta panggilan untuk mengalami pertobatan sejati. Kisah ini mengajarkan bahwa Allah senantiasa mencari dan menerima kembali setiap anak-Nya yang tersesat dengan sukacita, sebagaimana sang ayah dalam perumpamaan menerima kembali anak bungsunya dengan penuh kasih tanpa mengingat dosa-dosanya.

Relevansi kisah ini dengan Minggu Laetare dalam masa Prapaskah sangatlah kuat. Laetare, yang berarti “Bersukacitalah”, menandai momen penghiburan di tengah perjalanan pertobatan yang penuh refleksi dan laku tobat. Hal ini mencerminkan bagaimana Allah tidak hanya menanti pertobatan kita tetapi juga merayakan setiap langkah kembali kepada-Nya dengan sukacita.

Dalam konteks ini, karakter sang ayah dalam perumpamaan menjadi cerminan kasih Bapa yang selalu terbuka untuk menerima dan mengampuni. Sikapnya mengajarkan bahwa Allah tidak menuntut pertobatan sebagai syarat sebelum mengasihi, melainkan kasih-Nya sendiri yang membangkitkan pertobatan.

Demikian pula, sikap sang anak sulung mengingatkan kita agar tidak terjebak dalam sikap iri atau kebanggaan rohani yang menutup hati terhadap rahmat Allah. Kita diajak untuk ikut serta dalam sukacita keselamatan, menyadari bahwa belas kasih Allah bukan hanya bagi mereka yang jatuh tetapi juga bagi mereka yang setia namun perlu memperbarui pemahaman tentang cinta dan rahmat-Nya.

Minggu Laetare dalam masa Prapaskah menjadi undangan bagi kita untuk melihat perjalanan rohani bukan sekadar beban penyangkalan diri, tetapi sebagai kesempatan untuk mengalami kebangkitan dan kebebasan sejati dalam kasih Bapa. Seperti anak yang kembali dan disambut dengan pesta, kita pun diajak untuk bersukacita dalam belas kasih-Nya dan meneruskannya kepada sesama.

 

oleh Rm. Yudel Neno, Pr

Leave A Reply

Your email address will not be published.