Si Bungsu yang Hilang dan Sukacita Sang Ayah sebagai Model Spiritualitas di Minggu Laetare
UnioKeuskupanAtambua.com – Si Bungsu yang Hilang dan Sukacita Sang Ayah sebagai Model Spiritualitas di Minggu Laetare – Hari Minggu Laetare, Minggu ke-IV Prapaskah tahun C – 30 Maret 2025 – oleh Rm. Yudel Neno, Pr
Hari Minggu keempat dalam Masa Prapaskah disebut Minggu Laetare. Laetare berarti “bersukacita”. Sukacita yang dimaksud mencakup tiga makna, yaitu penghiburan, pengharapan, dan kasih. Pertama, sukacita ini mengingatkan kita bahwa Paskah akan segera tiba, dan dengan demikian nuansa tobat yang ada dalam Masa Prapaskah akan segera berakhir. Kedua, bagi mereka yang berharap, tidak akan dikecewakan. Ketiga, bagi orang yang memiliki kasih, balasan yang indah akan segera diberikan kepada mereka.
Memaknai Laetare berdasarkan Teks Yosua, 5:9a.10-12
Siapa itu Yosua?
Yosua adalah tokoh kunci dalam perjuangan untuk membebaskan bangsa Israel dari penjajahan Mesir. Nama Yosua berarti “Tuhan adalah keselamatan.” Yosua awalnya adalah asisten Musa. Dikisahkan bahwa pada akhirnya, Musa hanya dapat menatap dari puncak Gunung Nebo, sementara Yosualah yang bersama bangsa Israel memasuki Tanah Perjanjian, yang dikenal sebagai Tanah Kanaan. Setelah Musa meninggal, Yosua diangkat menjadi pemimpin bangsa Israel, menggantikan posisi Musa.
Berkemah di Gilgal; Suatu Sukacita Awal
Gilgal merupakan tempat pertama di Kanaan yang dijadikan perkemahan setelah bangsa Israel menyeberangi Sungai Yordan. Oleh karena itu, Gilgal disebut sebagai tempat di mana rahmat Yahweh pertama kali dialami sebagai pintu gerbang menuju Tanah Kanaan secara keseluruhan.
Di tempat ini, bangsa Israel mulai memakan hasil bumi Kanaan dan tidak lagi bergantung pada manna. Peristiwa ini menandai peralihan sumber makanan mereka, yang semula berasal langsung dari Allah selama di padang gurun, kini diperoleh secara mandiri dari tanah yang dijanjikan.
Selain itu, di Gilgal diceritakan bahwa mereka yang belum disunat—sebagai tanda pemurnian dan perjanjian dengan Allah—akhirnya menjalani penyunatan, meneguhkan kembali hubungan mereka dengan-Nya.
Di Gilgal, bangsa Israel juga merayakan Paskah, yang berlangsung pada hari keempat belas bulan itu. Perayaan ini merupakan ungkapan syukur kepada Tuhan atas karya keselamatan yang telah dikaruniakan kepada mereka. Paskah menandai bahwa mereka telah terbebas dari penderitaan di padang gurun, di mana mereka hanya mengandalkan manna, dan kini dapat menikmati hasil dari tanah Kanaan sebagai bentuk penyelamatan yang baru.
Setelah perayaan Paskah, mereka makan roti tidak beragi dan bertih gandum. Sejak saat itu, manna tidak lagi turun, karena bangsa Israel mulai hidup dari hasil bumi Kanaan, tanah yang telah dijanjikan Tuhan kepada mereka.
Makna Laetare Berdasarkan Kisah Yosua dan Gilgal
Laetare, yang berarti Bersukacitalah, adalah peringatan dalam tradisi Kristiani yang mengundang umat beriman untuk bersukacita di tengah perjalanan menuju keselamatan. Laetare mengandung makna harapan dan penyegaran rohani, yang sejalan dengan kisah Yosua dan pengalaman bangsa Israel di Gilgal.
Sukacita dalam Perjalanan Menuju Tanah Perjanjian
Bangsa Israel telah menempuh perjalanan panjang di padang gurun, menghadapi berbagai tantangan dan ketergantungan pada manna sebagai makanan dari Allah. Namun, di Gilgal, mereka mengalami titik balik: mereka tidak hanya tiba di Tanah Perjanjian tetapi juga mulai menikmati hasil bumi Kanaan. Hal ini mencerminkan makna Laetare, yaitu penghiburan dan sukacita dalam perjalanan iman, di mana umat diingatkan bahwa janji Allah selalu ditepati.
Perayaan sebagai Wujud Syukur
Di Gilgal, bangsa Israel merayakan Paskah sebagai ungkapan syukur atas karya keselamatan Tuhan. Paskah di sini bukan hanya perayaan historis tetapi juga simbol transisi dari penderitaan menuju kebebasan, dari ketergantungan kepada kepercayaan diri yang lahir dari anugerah Tuhan. Dalam konteks Laetare, umat diajak untuk bersyukur atas penyertaan Tuhan dalam hidup, meskipun masih berada dalam perjalanan menuju kepenuhan keselamatan.
Penyucian dan Pembaharuan Diri
Penyunatan di Gilgal menandai pembaruan perjanjian dengan Allah dan pemurnian rohani bagi mereka yang belum disunat. Ini mencerminkan makna Laetare dalam perjalanan Prapaskah, di mana umat diajak untuk memperbaharui iman dan meneguhkan kembali komitmen kepada Tuhan. Sukacita dalam Laetare bukan sekadar perasaan gembira, tetapi lahir dari kesadaran akan kasih dan rahmat Tuhan yang memulihkan dan menyucikan.
Peralihan dari Ketergantungan kepada Kedewasaan Iman
Ketika manna berhenti turun, bangsa Israel mulai mengusahakan makanan dari tanah yang mereka tempati. Ini adalah simbol kedewasaan iman—mereka tidak lagi hanya menerima secara pasif, tetapi juga berpartisipasi dalam karya Allah. Dalam Laetare, umat diajak untuk menyadari bahwa rahmat Tuhan tetap menyertai, tetapi mereka juga harus bertumbuh dalam iman dan bertanggung jawab atas perjalanan rohani mereka.
Kisah Yosua dan perkemahan di Gilgal mengajarkan bahwa Laetare bukan sekadar momen istirahat, tetapi undangan untuk melihat kembali bagaimana Tuhan telah membimbing, memberi harapan, dan menuntun menuju kehidupan baru. Laetare adalah panggilan untuk bersukacita dalam perjalanan iman, dengan keyakinan bahwa janji Tuhan akan digenapi dan keselamatan sudah semakin dekat.
Laetare perspektif Teks 2 Korintus, 5:17-21
Kristus adalah jembatan perdamaian bagi kita. Di dalam Dia, manusia lama diubah menjadi manusia baru. Perubahan ini merupakan konsekuensi teologis dari perdamaian dengan Allah, di mana manusia yang berdamai dengan-Nya menerima rahmat baru, yakni rahmat pengampunan.
Perdamaian dengan Allah tidak terjadi atas usaha manusia sendiri, melainkan karena belas kasihan Allah. Itulah sebabnya dikatakan bahwa Allah berdamai dengan kita melalui Kristus, tanpa memperhitungkan pelanggaran-pelanggaran kita. Dalam rekonsiliasi ini, kita dibenarkan di hadapan Allah, bukan karena kebaikan atau usaha kita, tetapi semata-mata karena anugerah-Nya.
Menjadi benar di hadapan Allah berarti menyadari keterbatasan dan keberdosaan kita. Kebenaran itu bukan berasal dari manusia, melainkan merupakan pembenaran yang dianugerahkan oleh Allah melalui Kristus. Dengan demikian, keselamatan dan perdamaian dengan Allah adalah hasil dari kasih dan belas kasihan-Nya, bukan dari perbuatan manusia, melainkan dari karya penebusan Kristus.
Makna Laetare dalam Perspektif 2 Korintus 5:17-21
Laetare, yang berarti “Bersukacitalah,” adalah perhentian sukacita dalam perjalanan Prapaskah. Minggu Laetare menandai momen harapan di tengah pertobatan, menegaskan bahwa rahmat dan keselamatan adalah karya Allah yang mendamaikan manusia dengan diri-Nya. Dalam terang 2 Korintus 5:17-21, makna Laetare dapat dijelaskan melalui beberapa aspek teologis berikut:
Kristus sebagai Jembatan Perdamaian
Paulus menegaskan bahwa dalam Kristus, manusia lama ditinggalkan dan manusia baru lahir (2Kor 5:17). Ini menunjukkan bahwa karya penyelamatan Allah membawa perubahan radikal bagi manusia: dari keadaan terpisah karena dosa menjadi manusia baru yang hidup dalam kasih karunia. Perubahan ini bukan hasil usaha manusia, melainkan anugerah dari Allah yang mendamaikan manusia dengan diri-Nya melalui Kristus (2Kor 5:18). Laetare adalah ungkapan sukacita karena kita telah diperdamaikan dengan Allah melalui Kristus.
Rahmat Pengampunan sebagai Inti Perdamaian
Ayat 19 menegaskan bahwa Allah “tidak memperhitungkan pelanggaran-pelanggaran kita.” Ini mencerminkan belas kasihan Allah yang tanpa batas, yang memungkinkan manusia berdamai dengan-Nya. Pengampunan ini bukan sekadar tindakan hukum, tetapi anugerah yang membentuk manusia baru. Laetare mengajak umat beriman untuk bersukacita dalam rahmat pengampunan ini, karena keselamatan yang dijanjikan bukan karena jasa manusia, tetapi karena inisiatif Allah dalam Kristus.
Pembenaran oleh Allah dalam Kristus
Paulus menutup perikop ini dengan pernyataan mendalam bahwa Kristus yang tidak berdosa dibuat menjadi dosa bagi kita, supaya kita menjadi kebenaran Allah dalam Dia (2Kor 5:21). Ini menandakan bahwa pembenaran bukanlah pencapaian manusia, tetapi anugerah Allah. Manusia diubah dari keadaan hina menjadi benar di hadapan Allah karena karya Kristus. Oleh karena itu, Laetare adalah seruan sukacita atas pembenaran ini, bahwa dalam Kristus kita telah diperbarui dan hidup dalam kasih karunia.
Minggu Laetare, dalam perspektif 2 Korintus 5:17-21, adalah perayaan sukacita dalam perjalanan iman. Kristus adalah jembatan perdamaian yang mengubah manusia lama menjadi manusia baru. Dalam perdamaian dengan Allah, kita menerima rahmat pengampunan dan dibenarkan bukan karena usaha kita, tetapi karena kasih karunia Allah dalam Kristus. Oleh karena itu, Laetare bukan sekadar sukacita emosional, tetapi sukacita teologis yang berakar dalam pengampunan dan pembaruan hidup oleh Allah.
Laetare perspektif Injil Lukas, 15:1-3.11-32
Dikisahkan bahwa para pemungut cukai dan orang-orang berdosa datang kepada Yesus untuk mendengarkan-Nya. Lebih dari itu, mereka bukan baru pertama kali datang, melainkan sudah terbiasa mendatangi-Nya. Hal ini menunjukkan bahwa kedatangan mereka bukan sekadar peristiwa sekali terjadi, melainkan sebuah kebiasaan yang berulang kali dilakukan.
Menarik bahwa orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat bersungut-sungut, meskipun tidak disebutkan secara eksplisit kepada siapa mereka mengeluh. Namun, jelas bahwa sasaran keluhan mereka adalah Yesus. Mereka merasa keberatan karena, menurut pandangan mereka, Yesus menerima dan makan bersama dengan para pemungut cukai dan orang-orang berdosa.
Pernyataan dan sikap orang-orang Farisi serta ahli Taurat menunjukkan seolah-olah mereka sendiri tidak berdosa. Mereka dengan mudah melimpahkan stigma dosa kepada para pemungut cukai dan orang-orang yang mereka anggap tidak layak. Sikap ini mencerminkan kecenderungan mereka untuk menghakimi orang lain, tanpa menyadari bahwa mereka juga membutuhkan belas kasih dan pengampunan Allah.
Terhadap sikap bersungut-sungut dari orang-orang Farisi dan ahli Taurat, serta terhadap kenyataan bahwa para pemungut cukai dan orang-orang berdosa diterima, Yesus mengajukan salah satu perumpamaan paling bernas dalam Injil Lukas, yaitu perumpamaan tentang Anak yang Hilang.
Dikisahkan bahwa ada seorang ayah, meskipun tidak disebutkan secara spesifik siapa dia. Ayah tersebut memiliki dua orang anak dengan status sebagai anak sulung dan anak bungsu.
Suatu hari, si bungsu meminta bagian harta warisan yang menjadi haknya. Sang ayah pun memenuhi permintaannya dan membagikan harta tersebut. Menariknya, disebutkan bahwa harta itu dibagikan kepada mereka, meskipun tidak ada keterangan bahwa si sulung juga meminta bagian sebelumnya.
Dalam perumpamaan ini, terdapat perbedaan yang jelas dalam perilaku antara si sulung dan si bungsu. Namun, meskipun mereka menunjukkan sikap yang berbeda, kasih dan belas kasih sang ayah tetap sama bagi keduanya.
Perilaku dan Karakter Si Bungsu
Setelah menerima bagian harta warisan dari ayahnya, si bungsu segera menjual seluruh miliknya dan pergi ke negeri yang jauh. Keputusan ini mencerminkan keinginannya untuk melepaskan diri sepenuhnya dari keluarganya, tanpa rasa sesal di awal. Harta warisan bukan sekadar kekayaan, tetapi juga simbol ikatan dengan ayah dan keluarganya. Dengan menjual dan menghamburkan harta tersebut, si bungsu secara tidak langsung memutuskan hubungannya dengan ayah dan saudaranya. Namun, penyesalan baru datang ketika ia telah jatuh dalam kehidupan yang penuh kesenangan sesaat dan berakhir dengan kehancuran.
Gaya hidupnya yang boros membawa malapetaka ketika terjadi kelaparan hebat di negeri itu. Ia kehilangan segalanya dan jatuh dalam kemiskinan. Dalam keadaan terdesak, ia bekerja pada seorang majikan yang menyuruhnya menjaga babi. Bagi orang Ibrani, pekerjaan ini melambangkan kehinaan, kemurtadan, serta hilangnya martabat sebagai anak dalam hubungan dengan bapanya. Bahkan, ia begitu lapar hingga ingin makan ampas makanan babi, tetapi tidak ada yang memberikannya. Keadaan ini menggambarkan betapa tragisnya nasib seseorang yang menjauh dari Bapa, baik secara lahiriah maupun spiritual. Menjauh dari Bapa berarti kehilangan kasih, perlindungan, dan berkat yang sejati.
Namun, kehebatan si bungsu terletak pada kesadarannya akan kesalahan yang telah ia perbuat. Ia menyadari bahwa ia telah tersesat dan berdosa, sehingga timbul keinginan untuk kembali kepada bapanya. Dalam hatinya, ia tidak lagi merasa layak disebut sebagai anak, melainkan hanya sebagai seorang upahan. Kerendahan hati dan pengakuan atas kesalahan inilah yang menjadi titik balik dalam hidupnya, membuka jalan bagi pemulihan dan belas kasih bapanya.