Manusia di Era Revolusi Digital dan Kritik Terhadapnya
UnioKeuskupanAtambua.com – Manusia di Era Revolusi Digital dan Kritik Terhadapnya – Catatan Kritis – oleh Yudel Neno, Pr
Pendahuluan
Tidak dapat disangkal bahwa digitalisasi memiliki peran penting dalam kehidupan manusia. Perkembangan teknologi digital membawa berbagai peluang dan tantangan yang tidak hanya berdampak positif tetapi juga negatif. Di satu sisi, dunia digital menawarkan kemudahan akses terhadap informasi, namun di sisi lain, juga menghadirkan banjir informasi yang sering kali tidak terverifikasi. Akibatnya, penyebaran hoaks dan berita palsu semakin marak, menciptakan kebingungan dalam masyarakat.
Fenomena akses media sosial menunjukkan bahwa manusia tidak dapat menghindari realitas revolusi digital. Perubahan dan perkembangan dalam era ini terjadi begitu cepat tanpa perlu meminta persetujuan manusia (individu). Sebaliknya, manusia justru sering terkesima dan mengagumi perubahan yang dihasilkan oleh revolusi digital. Namun, tanpa disadari, revolusi ini telah menciptakan jurang pemisah antara yang dekat dan yang jauh.
Dalam era digital, terjadi pergeseran paradigma dari diktum Descartes “Aku berpikir maka aku ada” menjadi “Aku Klik maka Aku Ada”. Konsep ini direfleksikan secara kritis oleh F. Budi Hardiman, dalam bukunya Aku Klik maka Aku Ada, yang menyoroti bagaimana manusia di era digital belum mencapai ketenangan atau kepastian identitas. Eksistensi seseorang di dunia digital sering kali ditentukan oleh citra, popularitas, hiperrealitas, dan simulacra yang berlandaskan pada sensasi.
Kemampuan berpikir kritis semakin melemah dan tergantikan oleh kecepatan dalam mengklik atau menekan tombol. Hidup di era digital tampak seperti rangkaian aktivitas klik dan pencet tanpa proses refleksi yang mendalam. Bagi manusia digital, kepuasan dan keindahan hidup seolah-olah mencapai puncaknya ketika mata mereka terpaku pada layar yang dipenuhi jutaan informasi.
Realitas keterpikatan pada media sosial membuktikan bahwa revolusi digital tidak hanya mengubah cara manusia berkomunikasi, tetapi juga mempengaruhi cara berpikir mereka. Proses mempertimbangkan suatu hal dan mengambil keputusan kini lebih sering didasarkan pada impresi instan daripada analisis yang mendalam. Pergeseran ini berpotensi menghambat perkembangan intelektual dan mengikis nilai-nilai kebijaksanaan dalam kehidupan manusia.
Oleh karena itu, manusia di era digital perlu menyikapi perubahan ini dengan sikap kritis dan bijak. Penting bagi setiap individu untuk tetap mempertahankan kesadaran reflektif dalam menyaring informasi dan mengembangkan pemikiran yang mendalam. Dengan demikian, manusia tidak hanya sekadar “ada” karena klik, tetapi benar-benar eksis sebagai makhluk berpikir yang memiliki kesadaran dan tanggung jawab atas informasi yang dikonsumsi dan disebarluaskan.
Revolusi Digital dan Transformasi Antropologis
Revolusi digital tidak hanya menghadirkan perubahan teknologi, tetapi juga mengubah kondisi antropologis manusia. Identitas manusia semakin bergantung pada interaksi digital, menggantikan interaksi fisik yang sebelumnya menjadi landasan eksistensi.
Homo digitalis tidak lagi hanya pengguna gawai, tetapi juga bereksistensi melalui tindakan digital seperti mengunggah, berkomentar, dan membagikan konten. Ketegangan antara transendensi digital dan imanensi korporeal menghasilkan bentuk baru dari keterasingan yang tidak dipersoalkan.
Catatan Kritis
Revolusi digital memang mengubah eksistensi manusia, tetapi bukan berarti interaksi fisik sepenuhnya digantikan oleh interaksi digital. Masih banyak ruang sosial yang mempertahankan interaksi langsung. Perspektif ini perlu dipertimbangkan agar tidak terjebak dalam pesimisme teknologi.
Dari “Aku Berpikir Maka Aku Ada” ke “Aku Klik Maka Aku Ada”
Di era digital, berpikir kritis tergeser oleh kecepatan klik dan konsumsi informasi instan. Pikiran tidak lagi menjadi pusat, melainkan jari yang menentukan realitas melalui tombol dan layar. Konsep eksistensi yang dulu berbasis refleksi kini bergeser ke eksistensi berbasis aktivitas daring, yang ditentukan oleh respons digital seperti “like” dan “share” (metrik kuantitatif).
Catatan Kritis
Perubahan cara berpikir memang terjadi, tetapi apakah itu selalu negatif? Ada juga argumen bahwa akses cepat ke informasi dapat memperkaya wawasan seseorang. Persoalannya bukan hanya soal klik, tetapi bagaimana klik tersebut dimanfaatkan untuk mendukung proses berpikir kritis.
Citra Mengkhianati Eksistensi
Dalam dunia digital, citra lebih dipercaya daripada realitas, menciptakan hiperrealitas yang membingungkan antara apa yang ada (beings) dan apa yang hanya tampak (seems). Dominasi tampilan atas substansi membuat eksistensi manusia ditentukan oleh sejauh mana ia dapat menciptakan persona digital yang menarik (how to make brand personality). Akibatnya, publikasi diri menjadi kebutuhan utama dalam perjuangan mendapatkan pengakuan.
Catatan Kritis
Media sosial memang memperkuat citra sebagai identitas, tetapi tidak semua orang kehilangan autentisitasnya dalam dunia digital. Justru ada individu yang mampu menggunakan media digital sebagai sarana ekspresi jujur tentang diri mereka.
Distorsi Realitas dalam Komunikasi Digital
Kemajuan teknologi memungkinkan komunikasi melampaui keterbatasan fisik, tetapi juga menyebabkan pergeseran dari komunikasi korporeal (offline) ke komunikasi digital (online). Kesadaran kolektif kini dibentuk oleh algoritma media sosial, di mana pesan-pesan yang beredar lebih berpengaruh daripada pemikiran individual. Keberanian untuk “skip” terhadap realitas yang tidak disukai semakin meningkat, menciptakan budaya abai terhadap kebenaran yang tidak sejalan dengan preferensi individu.
Catatan Kritis
Dominasi komunikasi digital memang dapat menggeser makna realitas, tetapi ini juga membuka ruang bagi demokratisasi informasi. Tantangan utama adalah bagaimana membangun literasi digital agar masyarakat dapat memilah informasi dengan lebih bijak.
Homo Digital dan Datafikasi yang terus Menggerus Privasi
Di era digital, data menjadi komoditas utama, dan manusia tidak lagi hanya berpartisipasi dalam komunikasi, tetapi juga menjadi sumber data bagi kepentingan algoritma dan kapitalisme digital. Homo digital lebih mementingkan tampilan dan publikasi daripada substansi, menciptakan big data yang semakin sulit dikendalikan. Pola pikir berbasis klik ini memperlemah kesadaran kritis dan menguatkan fanatisme publikasi.
Catatan Kritis
Datafikasi memang membawa risiko terhadap privasi, tetapi juga menawarkan efisiensi dalam berbagai sektor kehidupan, termasuk ekonomi dan kesehatan. Masalahnya bukan sekadar datafikasi itu sendiri, tetapi bagaimana regulasi dan kesadaran individu mengelola datanya.
Polarisasi dan Demagogi di Ruang Digital
Media sosial menjadi lahan subur bagi demagogi dan propaganda, yang menyebabkan masyarakat terpecah akibat polarisasi algoritmik. Fenomena ini diperparah oleh maraknya hoaks dan ujaran kebencian yang terus beredar tanpa kendali, menciptakan ketegangan sosial yang sulit didamaikan. Di era ini, informasi yang provokatif lebih cepat viral dibandingkan kebenaran yang kompleks.
Catatan Kritis
Polarisasi bukan hanya produk era digital. Sejak zaman sebelum digitalisasi, masyarakat sudah mengalami polarisasi ideologis dan politik. Namun, algoritma media sosial memang mempercepat dan memperkuat polarisasi ini. Tantangan utama adalah bagaimana menciptakan platform digital yang lebih netral.
Brutalitas dan Kekerasan dalam Dunia Digital
Kecanggihan teknologi membuka peluang bagi manusia tidak hanya untuk menjadi homo digitalis, tetapi juga homo brutalis, yang memanfaatkan anonimitas untuk melancarkan serangan verbal dan kekerasan simbolik. Dalam ruang digital, kebebasan berekspresi sering kali disertai dengan brutalitas tanpa batas, di mana ujaran kebencian dipupuk melalui algoritma yang memperkuat prasangka dan polarisasi.
Catatan Kritis
Fenomena cyberbullying dan ujaran kebencian memang meningkat, tetapi internet juga memberi ruang bagi gerakan sosial yang memperjuangkan keadilan. Solusi yang lebih baik bukanlah menghindari digitalisasi, tetapi menegakkan regulasi dan membangun etika digital yang kuat.
Krisis Kebenaran dan Sensasi sebagai Standar Baru
Di era digital, kebenaran mengalami pergeseran dari sesuatu yang objektif menjadi sesuatu yang performatif, di mana yang memiliki otoritas atau banyak pengikut dapat menciptakan “kebenaran” versi mereka sendiri. Hoaks yang tersebar luas sering kali diterima tanpa kritik karena sesuai dengan preferensi emosional audiens. Akibatnya, komunikasi digital semakin menjauhkan manusia dari akal sehat dan mempertajam bias kognitif.
Catatan Kritis
Sensasi memang mendominasi ruang digital, tetapi bukan berarti kebenaran tidak bisa bertahan. Justru ada banyak gerakan yang melawan hoaks dan menyebarkan informasi yang lebih kredibel. Tantangannya adalah bagaimana memperkuat filter informasi yang lebih akurat.
Distorsi Makna dalam Komunikasi Digital
Interaksi manusia di era digital tidak hanya terjadi dengan sesama manusia, tetapi juga dengan mesin dan algoritma yang mengatur arus informasi. Akibatnya, pesan yang dikomunikasikan sering kali kehilangan makna aslinya, karena seleksi dan sirkulasi informasi membentuk konstruksi makna baru yang berbeda dari niat awal pengirimnya. Dalam lingkungan ini, individu lebih mudah percaya pada salinan realitas dibandingkan realitas itu sendiri.
Catatan Kritis
Media sosial memang mengubah cara komunikasi, tetapi ini tidak selalu berarti kehilangan makna. Sebaliknya, ada banyak komunitas yang mampu menggunakan media digital untuk mempertahankan makna asli dari suatu pesan, bahkan memperkaya interpretasi dalam skala yang lebih luas.
Homo Digital dan Tantangan Kemanusiaan Baru
Eksistensi manusia semakin bergantung pada aktivitas digital, menyebabkan keterasingan sosial yang semakin mendalam. Rutinitas interaksi digital yang berulang menciptakan kondisi psikologis baru di mana individu lebih nyaman berinteraksi dalam dunia maya daripada dunia nyata. Kebergantungan ini pada akhirnya membentuk manusia yang bukan lagi pemikir orisinal, tetapi hanya sekadar perakit informasi dari template yang disediakan oleh media digital.Dengan pemetaan ini, kita dapat melihat bahwa revolusi digital tidak hanya mengubah cara manusia berkomunikasi, tetapi juga membentuk cara berpikir, bertindak, dan bahkan memahami eksistensi. Kritik terhadap era digital ini bukan sekadar nostalgia terhadap masa lalu, tetapi sebuah ajakan untuk lebih kritis dalam menghadapi transformasi yang tengah berlangsung.
Catatan Kritis
Homo digital tidak selalu kehilangan orisinalitasnya. Justru ada banyak individu yang memanfaatkan media digital untuk berpikir kritis dan menciptakan karya yang bermakna. Tantangan utamanya adalah bagaimana manusia dapat tetap menjadi pemikir reflektif di tengah kemudahan akses informasi digital.
Kesimpulan
Dari analisis di atas, terlihat bahwa revolusi digital bukan hanya sekadar perkembangan teknologi, tetapi juga fenomena antropologis yang mengubah struktur pemikiran, interaksi sosial, dan bahkan konsep eksistensi manusia. Pergeseran dari “Aku berpikir maka aku ada” ke “Aku klik maka aku ada” menunjukkan bahwa identitas manusia semakin dikendalikan oleh interaksi digital, bukan lagi oleh refleksi mendalam atau tindakan nyata.
Di sisi lain, komunikasi digital yang semakin dominan membawa dampak ambivalen. Di satu sisi, ia menciptakan keterhubungan global yang melampaui batas geografis, tetapi di sisi lain, ia juga menumbuhkan polarisasi, memperlemah kesadaran kritis, dan menciptakan realitas buatan yang membingungkan antara yang nyata dan yang semu.
Dengan demikian, kritik terhadap era digital bukan berarti menolak teknologi, melainkan mendorong manusia untuk tetap mempertahankan otonomi berpikirnya di tengah derasnya arus informasi. Kesadaran kritis dan etika digital menjadi kunci bagi manusia untuk tetap menjadi tuan atas teknologi, bukan sebaliknya.
oleh Yudel Neno, Pr