Berintegritas Dalam Pelayanan

Pemikiran Aristoteles tentang Negara Kota dan Zoon Politicon serta Kontribusinya bagi Sakramen Politik

Kontribusi bagi para Imam Projo

198

OPINIuniokeuskupanatambua.comPemikiran Aristoteles tentang Negara Kota dan Zoon Politicon – oleh Rm. Yudel Neno, Pr 

Pendahuluan

Pemikiran Aristoteles tentang negara kota (polis) dan manusia sebagai zoon politicon menawarkan perspektif mendalam mengenai hakikat negara sebagai komunitas politik yang berorientasi pada kebaikan bersama.

Dalam pandangan Aristoteles, negara bukan hanya sekadar tempat tinggal, melainkan wadah bagi individu untuk mencapai kehidupan yang baik melalui politik dan kepemimpinan yang berbasis kebijaksanaan dan moralitas. Konsep ini menegaskan bahwa kehidupan politik tidak hanya bertujuan untuk menjaga ketertiban, tetapi juga untuk membangun masyarakat yang adil dan harmonis.

Salah satu aspek utama dalam pemikiran Aristoteles adalah pentingnya kebaikan sebagai dasar bagi tindakan politik dan kehidupan bermasyarakat. Ia menekankan bahwa negara yang baik hanya dapat tercapai melalui pemimpin yang memiliki kemampuan intelektual dan moral, bukan yang hanya mengandalkan naluri atau kekuatan fisik. Selain itu, pendidikan moral menjadi fondasi utama dalam membangun negara yang stabil dan sejahtera.

Kebaikan sebagai Dasar Masyarakat

Aristoteles menegaskan bahwa kebaikan merupakan sumber dari segala tindakan manusia. Hanya jika kebaikan dijadikan prinsip utama dalam kehidupan bermasyarakat, maka seluruh masyarakat dapat menjadi baik. Sebaliknya, jika kebaikan tidak menjadi sumber tindakan, maka peluang untuk menciptakan kehidupan yang baik dalam masyarakat akan sulit terwujud.

Lebih lanjut, Aristoteles berpendapat bahwa kebaikan dalam masyarakat politik hanya dapat tercapai jika terdapat pemisahan yang jelas antara bagian-bagian yang berbeda, hingga ke bagian yang terkecil. Pemisahan ini bertujuan untuk menciptakan keteraturan dan harmoni dalam kehidupan bernegara.

Politik dan Kepemimpinan

Menurut Aristoteles, politik hanya dapat berjalan dengan baik jika ada perhatian terhadap “bibit”. Kesungguhan dalam memperhatikan bibit merupakan jaminan bagi hasil yang sempurna di masa depan. Dalam konteks kepemimpinan politik, “bibit” yang dimaksud adalah makhluk yang dikaruniai kemampuan berpikir dan merenungkan dunia.

Seorang pemimpin, menurut Aristoteles, harus memiliki kemampuan berpikir dan merenung. Jika seseorang menjadi pemimpin hanya karena naluri belaka, ia akan cenderung memerintah tanpa sikap kritis dan hanya mencari keuntungan dengan tunduk pada keamanan bersama. Lebih parahnya, pemimpin semacam itu akan gagal membawa perubahan yang bermakna bagi masyarakatnya.

Selain itu, Aristoteles menolak konsep kepemimpinan yang hanya didasarkan pada kualifikasi fisik. Baginya, seorang pemimpin yang hanya dipilih karena kekuatan fisik bukanlah pemimpin sejati, melainkan seorang budak. Budak, menurut Aristoteles, adalah orang yang tidak memiliki komitmen dan mudah dikendalikan oleh pihak lain.

Pentingnya Kemampuan Retoris

Dalam kehidupan bermasyarakat, Aristoteles menekankan pentingnya kemampuan retoris, terutama dalam hal pathos (emosi), untuk mendukung aspek persuasi. Seorang pemimpin harus memiliki kemampuan persuasif (retoris) untuk mempengaruhi dan mengendalikan rakyatnya demi mencapai tujuan politik yang baik.

Negara Kota sebagai Komunitas Politik

Menurut Aristoteles, keadilan merupakan bentuk kebaikan politik. Keadilan ini hanya dapat diwujudkan dalam negara kota (polis), yang merupakan komunitas politik yang lebih besar dibandingkan keluarga atau desa.

Dalam pemahamannya, negara adalah muara dari desa-desa, sementara desa merupakan gabungan dari berbagai keluarga. Keluarga sendiri merupakan komunitas paling primitif yang terbentuk untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia. Namun, negara memiliki tujuan yang lebih luas dibandingkan keluarga dan desa, yaitu mengutamakan kebaikan bersama, bukan hanya kepentingan kelompok tertentu.

Karena negara memiliki cakupan yang lebih luas dan masyarakatnya lebih banyak, seorang pemimpin harus memiliki kecakapan intelektual dan moral. Kecakapan intelektual diperlukan untuk memahami logika hukum dan konstitusi, sementara kemampuan retoris diperlukan untuk mempersuasi rakyatnya.

Dalam konteks ini, pemahaman tentang manusia sebagai zoon politicon (makhluk politik) lebih tepat diterapkan dalam kehidupan bernegara. Sebab, hanya dalam lingkup sosial yang lebih luas, manusia dapat sepenuhnya menjalankan perannya sebagai makhluk politik.

Negara sebagai Masyarakat Alami

Aristoteles menegaskan bahwa manusia hanya dapat menjalani kehidupan yang lebih baik dalam negara. Karena kehidupan yang baik merupakan tujuan alamiah manusia, maka negara disebut sebagai masyarakat alami. Ini berarti kehidupan sosial manusia dalam skala yang lebih luas (negara) bukan sesuatu yang dibuat-buat, tetapi bagian dari kodrat manusia sebagai makhluk sosial.

Oleh karena itu, negara adalah keseluruhan yang mandiri, yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan warganya dan mengelola sumber dayanya dengan mengimpor kebutuhan serta mengekspor kelebihan.

Pendidikan Moral sebagai Fondasi Negara

Salah satu gagasan utama Aristoteles dalam politik adalah pentingnya pendidikan moral. Baginya, pendidikan moral merupakan pendidikan yang paling utama, karena membentuk karakter individu yang baik.

Selain itu, Aristoteles menegaskan bahwa stabilitas dan kemakmuran negara hanya dapat dijamin melalui pendidikan moral dan integritas warga negara. Tanpa moralitas yang baik, negara akan kehilangan arah dan mudah mengalami kemunduran.

Dalam perspektif etika Aristoteles, kebaikan adalah tujuan dari semua hal dan semua tindakan. Etika Aristoteles bersifat teleologis, artinya segala sesuatu diarahkan pada tujuan akhir yang baik. Dalam konteks negara, tujuan tersebut adalah kebaikan bersama. Untuk mencapainya, diperlukan tindakan kondusif, yaitu tindakan yang sesuai dengan prinsip-prinsip kebaikan dalam masyarakat.

Aristoteles menyebutkan dua jenis tujuan, yaitu tujuan yang lebih rendah dari tujuan utama dan tujuan utama itu sendiri. Misalnya, pemberian obat kepada orang sakit adalah tujuan rendah karena hanya berfokus pada penyakitnya. Tetapi tujuan utama dari tindakan tersebut adalah kesehatan pasien, yang merupakan bentuk kebaikan terbaik.

Aristoteles menempatkan ilmu politik sebagai ilmu yang mempelajari kebaikan bagi manusia. Baik dalam lingkup individu maupun negara, ilmu politik membahas kebaikan yang sama. Namun, menurut Aristoteles, kebaikan dalam negara lebih utama karena bercorak sosial—berlaku untuk semua orang. Maka, kebaikan sejati hanya dapat tercapai jika kebaikan individu diterapkan dalam kehidupan bersama.

Jika politik dipandang sebagai ruang dan cara untuk berbuat baik, maka kebaikan universal hanya dapat dicapai melalui politik yang partisipatif, bukan politik yang pasif. Dalam hal ini, Aristoteles membedakan antara etika individu dan etika politik.

Etika individu membahas bagaimana seseorang bertindak secara baik dalam kehidupannya sendiri.
Etika politik membahas bagaimana suatu komunitas politik dapat mewujudkan kebaikan bersama.

Sumbangan Pemikiran Aristoteles terhadap Sakramen Politik

Politik sebagai Ruang Perjuangan Keadilan

Pemikiran Aristoteles tentang negara kota dan zoon politicon memberikan kontribusi penting bagi teologi politik, terutama dalam memahami politik sebagai ruang perjuangan bagi keadilan dan kebaikan bersama. Aristoteles menekankan bahwa negara harus berorientasi pada kebaikan dan pemimpinnya harus memiliki kecerdasan serta moralitas yang tinggi. Dalam terang teologi politik, konsep ini dapat dikaitkan dengan peran Yesus sebagai pemimpin yang tidak hanya berpihak kepada kaum lemah, tetapi juga membawa transformasi sosial berdasarkan kasih dan keadilan.

Sakramen Politik dan Peran Yesus

Sakramen politik dalam konteks ini dapat dipahami sebagai tindakan nyata dalam politik yang berakar pada nilai-nilai Injil, di mana politisi terinspirasi oleh Yesus untuk membela kaum tertindas. Aristoteles menolak kepemimpinan yang hanya didasarkan pada naluri dan kepentingan pribadi, yang sejalan dengan ajaran Yesus yang menegur pemimpin yang mencari keuntungan sendiri. Dengan demikian, politik yang berorientasi pada kebaikan bersama harus menjadi ruang partisipatif, bukan sekadar alat kekuasaan, agar dapat menghadirkan keadilan dalam masyarakat.

Moralitas dan Politik sebagai Panggilan

Keutamaan moral dan pendidikan yang ditekankan Aristoteles juga relevan dalam teologi politik, karena tanpa landasan etis, politik kehilangan arah dan mudah disalahgunakan. Yesus sebagai figur politik transformatif mencontohkan bagaimana pemimpin sejati harus melayani, bukan dilayani, serta membawa perubahan bagi kesejahteraan semua orang. Dengan perspektif ini, politik bukan sekadar strategi kekuasaan, tetapi menjadi panggilan untuk mewujudkan kebaikan bersama yang sejati, sebagaimana diajarkan oleh Yesus dalam pewartaan Kerajaan Allah.

Kesimpulan

Pemikiran Aristoteles mengenai negara kota dan zoon politicon menunjukkan bahwa kehidupan politik yang baik harus berorientasi pada kebaikan bersama. Negara bukan sekadar kumpulan individu, melainkan komunitas yang bertujuan untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik melalui keteraturan, keadilan, dan kebajikan. Kepemimpinan dalam negara harus didasarkan pada kecerdasan dan kebijaksanaan, bukan hanya pada naluri atau kekuatan fisik semata.

Selain itu, pendidikan moral memiliki peran yang krusial dalam menjaga stabilitas dan kemajuan negara. Dengan membentuk warga negara yang bermoral, politik dapat menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial. Oleh karena itu, partisipasi aktif dalam politik yang berlandaskan kebajikan merupakan kunci bagi terciptanya negara yang harmonis dan berkeadilan.

Sumber Bacaan
Politik karya Aristoteles, Filsafat Aristoteles karya Frederick Copleston, Partisipasi Politik karya Yosef Keladu Koten, Sakramen Politik karya Eddy Kristiyanto, dan Imam Berpolitik Bolehkah? karya Rm. Yudel Neno, Pr

Leave A Reply

Your email address will not be published.