Berintegritas Dalam Pelayanan

Hiperealitas dan Simulacra Menurut Jean Baudrillard dan Kritik atas Publikasi dalam Dunia Media Sosial

Keprihatinan dan Perhatian terhadap Publikasi Media Sosial

90

UnioKeuskupanAtambua.comRefleksi Kritis Hiperealitas dan Simulacra Menurut Jean Baudrillard dan Kritik atas Publikasi dalam Dunia Media Sosialoleh Yudel Neno, Pr

Pendahuluan

Di era digital, media sosial telah menjadi ruang utama bagi interaksi manusia, menggantikan banyak aspek kehidupan sosial yang sebelumnya berlangsung dalam dunia nyata. Namun, kehadiran media sosial tidak sekadar memfasilitasi komunikasi, melainkan juga menciptakan lanskap baru yang sering kali terpisah dari realitas objektif.

Dalam konteks publikasi, pemikiran Jean Baudrillard mengenai hiperealitas dan simulacra menjadi relevan untuk memahami bagaimana media sosial tidak hanya merepresentasikan realitas, tetapi juga membentuk serta menggantikannya dengan konstruksi yang sepenuhnya terlepas dari dunia nyata.

Jean Baudrillard berpendapat bahwa kita telah memasuki era di mana batas antara realitas dan representasi menjadi kabur, bahkan hilang sepenuhnya. Konsep ini tampak nyata dalam fenomena media sosial, di mana individu tidak hanya membagikan pengalaman mereka, tetapi juga menciptakan narasi tertentu yang sering kali tidak mencerminkan keaslian.

Publikasi tanpa batas (demarkasi) di media sosial, terutama melalui platform seperti Facebook, Instagram, dan TikTok, tidak hanya menggiring individu ke dalam eksibisionisme digital tetapi juga mempercepat degradasi privasi serta manipulasi citra diri demi validasi sosial.

Tulisan ini akan mengkaji bagaimana hiperealitas dan simulacra bekerja dalam dunia media sosial, serta memberikan kritik terhadap fenomena publikasi digital yang semakin mendominasi kehidupan modern. Dengan merujuk pada pemikiran Baudrillard, Jürgen Habermas, dan Karl Marx, kita akan menganalisis bagaimana media sosial telah mengubah konsep realitas, ruang publik, dan nilai informasi dalam kehidupan masyarakat.

Hiperealitas: Realitas yang Tertelan Citra

Baudrillard menggambarkan hiperealitas sebagai kondisi di mana representasi tidak lagi merujuk pada realitas yang sebenarnya, melainkan menjadi realitas itu sendiri. Dalam dunia media sosial, fenomena ini tampak jelas dalam bagaimana citra lebih dominan daripada fakta. Algoritma media sosial mendorong pengguna untuk terus mengonsumsi konten yang sesuai dengan preferensi mereka, menciptakan ilusi dunia yang terpersonalisasi (filter bubble).

Eksibisionisme digital adalah kecenderungan seseorang untuk secara aktif mengekspos aspek-aspek kehidupan pribadinya di media sosial atau platform digital lainnya dengan tujuan mendapatkan perhatian, validasi, atau respons dari audiens.

Kehidupan di media sosial didominasi oleh rekayasa visual dan naratif. Foto yang telah diedit, video yang dikurasi, serta unggahan yang disusun dengan hati-hati menciptakan citra diri yang lebih dekat dengan fantasi ketimbang kenyataan. Influencer dan selebriti digital, misalnya, membangun persona yang ideal, sering kali terputus dari kehidupan mereka yang sesungguhnya. Fenomena ini mempercepat dominasi citra terhadap realitas, di mana yang tampak di layar lebih dipercaya daripada yang sebenarnya terjadi.

Media sosial juga memperkuat eksibisionisme digital, di mana individu merasa terdorong untuk mempublikasikan setiap aspek kehidupan mereka demi mendapatkan validasi dalam bentuk like, komentar, dan share (metrik kuantitatif).

Metrik kuantitatif adalah ukuran yang menggunakan angka atau data numerik untuk menilai, menganalisis, atau membandingkan suatu fenomena.

Kehidupan yang seharusnya bersifat privat kini terekspos ke ruang publik, sering kali tanpa menyadari bahwa yang dipertontonkan lebih merupakan fabrikasi daripada keotentikan.

Ruang Privat dan Publik dalam Perspektif Habermas

Filsuf Jürgen Habermas membedakan antara ruang privat sebagai ranah otonomi individu, dan ruang publik sebagai arena diskusi rasional untuk membentuk opini publik. Dalam dunia media sosial, batas antara kedua ruang ini semakin kabur.

Oversharing (berbagi berlebihan )– Memublikasikan detail kehidupan pribadi secara terus-menerus, termasuk momen yang seharusnya bersifat privat.

Idealnya, media sosial dapat menjadi ruang publik digital di mana masyarakat berdiskusi secara rasional. Namun, kenyataannya, media sosial lebih banyak dikendalikan oleh algoritma, kepentingan ekonomi, dan politik. Informasi yang tersebar lebih banyak ditentukan oleh kepentingan kapital dibandingkan nilai kebenarannya. Akibatnya, ruang publik yang seharusnya menjadi tempat dialog demokratis berubah menjadi arena manipulasi opini yang dikendalikan oleh media dan industri teknologi.

Dominasi citra atas substansi ini menciptakan paradoks: semakin banyak individu berbagi kehidupan mereka di media sosial, semakin sulit bagi mereka untuk membedakan antara yang personal dan yang sosial. Privasi menjadi semakin tergerus, sementara tuntutan akan “kehadiran digital” terus meningkat.

Kritik Karl Marx terhadap Komodifikasi Informasi

Dalam pemikirannya, Karl Marx membedakan antara nilai guna (use value) dan nilai jual (exchange value). Marx mengkritik bagaimana kapitalisme lebih mengutamakan nilai jual dibandingkan nilai guna, sehingga suatu produk tidak lagi dihargai berdasarkan manfaatnya, melainkan berdasarkan potensi keuntungannya.

Overprioritasi adalah tindakan memberikan prioritas berlebihan pada suatu hal dibandingkan dengan hal lain yang juga penting

Dalam konteks media sosial, informasi mengalami komodifikasi serupa. Idealnya, media sosial berfungsi untuk menyebarkan informasi yang bermanfaat dan mendukung diskusi publik yang rasional. Namun, dengan dominasi kapitalisme digital, informasi kini lebih sering dikurasi berdasarkan daya jualnya. Berita sensasional, konten viral, dan narasi emosional lebih diutamakan karena dapat menarik perhatian dan menghasilkan keuntungan dari iklan serta monetisasi.

Engagement adalah tingkat interaksi atau keterlibatan audiens terhadap suatu konten, terutama di media sosial. Engagement Aktif – Misalnya komentar, berbagi (share), atau membuat duplikasi konten (seperti duet di TikTok). Engagement Pasif – Seperti melihat (views), menyukai (likes), atau sekadar menghabiskan waktu lebih lama di sebuah unggahan.

Akibatnya, kualitas informasi dikorbankan demi engagement, menciptakan kondisi di mana kebenaran menjadi relatif dan informasi lebih berfungsi sebagai komoditas daripada sarana pencerdasan publik.

Simulacra: Salinan Tanpa Keaslian

Konsep simulacra dalam pemikiran Baudrillard merujuk pada realitas yang telah mengalami proses reproduksi tanpa referensi pada yang asli. Dalam media sosial, yang kita lihat bukanlah realitas, melainkan versi realitas yang telah dikonstruksi secara artifisial.

Fenomena “flexing culture”, di mana individu memamerkan gaya hidup mewah yang tidak sesuai dengan kenyataan, adalah contoh utama simulacra. Orang tidak lagi membagikan kehidupan mereka yang sebenarnya, tetapi versi kehidupan yang telah disaring, disunting, dan dikemas agar terlihat menarik.

Simulacra juga terjadi dalam dunia politik dan informasi. Politikus memanfaatkan media sosial untuk membangun citra yang strategis, bukan autentik, sementara berita yang tersebar di media sosial sering kali bukan laporan faktual, melainkan hasil konstruksi yang telah mengalami berbagai distorsi demi kepentingan tertentu. Dalam skenario ekstrem, hoaks dan disinformasi menjadi alat utama dalam perang opini digital, menjebak masyarakat dalam realitas yang sepenuhnya dikendalikan oleh kepentingan politik dan ekonomi.

Kesimpulan: Menuju Kesadaran Digital yang Lebih Kritis

Fenomena hiperealitas dan simulacra dalam dunia media sosial menunjukkan bahwa kita tidak lagi hidup dalam realitas yang objektif, tetapi dalam realitas yang dikonstruksi dan dimanipulasi oleh sistem digital. Media sosial, yang seharusnya menjadi alat komunikasi dan ekspresi, kini lebih banyak berfungsi sebagai mesin produksi citra yang sering kali menjauhkan individu dari keaslian.

Untuk menghadapi tantangan dalam publikasi, diperlukan kesadaran digital yang lebih kritis. Pengguna media sosial harus mampu membedakan antara yang nyata dan yang direkayasa, serta lebih selektif dalam mengonsumsi informasi dan membangun identitas digital mereka. Dengan memahami bagaimana hiperealitas dan simulacra bekerja, kita dapat menghindari jebakan dunia maya yang semakin mendominasi kehidupan manusia modern.

Pada akhirnya, media sosial seharusnya tidak menjadi sarana fabrikasi realitas, tetapi tetap menjadi ruang publik yang sehat—tempat di mana kebenaran dapat didiskusikan tanpa harus tunduk pada logika kapitalisme digital dan manipulasi algoritma.

oleh Yudel Neno, Pr

Leave A Reply

Your email address will not be published.