Imam adalah Kurban dan Bukan Kurban Perwakilan
Refleksi Teologis Perspektif Fulton J. Sheen bagi para Imam
UnioKeuskupanAtambua.com – Imam adalah Kurban dan Bukan Kurban Perwakilan – oleh Rm. Yudel Neno, Pr
Pendahuluan
Dalam tradisi keimamatan Yahudi, imam selalu mempersembahkan kurban yang terpisah dari dirinya sendiri—lembu, kambing, atau domba—sebagai penghapus dosa umat. Namun, dalam diri Yesus Kristus, Imam dan Kurban menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Inilah perbedaan mendasar antara imamat Perjanjian Lama dan Imamat Kristus.
Kristus bukan hanya Imam yang mempersembahkan Kurban, tetapi juga Kurban itu sendiri (Sacerdos – Victima). Pemahaman ini dikembangkan secara mendalam oleh Fulton J. Sheen dalam bukunya Imam Bukan Miliknya Sendiri.
Sheen menegaskan bahwa keimamatan Kristus membawa konsekuensi besar bagi para imam, sebab mereka dipanggil bukan hanya untuk melayani kurban, tetapi juga menjadi bagian dari kurban itu sendiri.
Dalam Ekaristi terdapat Dua Meja; satunya Meja Sabda dan Satunya Meja Kurban. Pada Meja Sabda, Kristus dihidangkan sebagai Kata-Kata (Alter Christi) dan pada Meja Kurban, Kristus dihidangkan sebagai Tubuh dan Darah Kristus (In Persona Christi). Karena itu, dalam Ekaristi, Kristus adalah Tuan Rumah sekaligus merupakan Hidangan
Pada halaman awal buku Imam Bukan Miliknya Sendiri, terdapat tiga bait tulisan. Di bagian akhir bait ketiga, Sheen menulis: “Buku ini didedikasikan agar melalui halaman-halaman berikut, ia dapat berbisik kepada kita seperti di Kana: ‘Apa pun yang dikatakan-Nya kepadamu, lakukanlah.’ Atas dasar inilah, judul tulisan ini diberikan.”
Pernyataan Fulton Sheen bahwa buku bahwa buku yang ditulisnya dapat “berbisik” mengacu pada makna yang terkandung dalam setiap halamannya. Ia meyakini bahwa permenungan tentang imam dan karya pelayanannya tidak dapat dipisahkan dari peran Yesus. Oleh karena itu, Sheen mengutip kata-kata Maria dalam peristiwa di Kana sebagai pesan utama: “Apa pun yang dikatakan-Nya kepadamu, lakukanlah.”
Bunda yang Berbicara kepada Kristus adalah Ibu bagi Kristus
Di Kana, Bunda Maria menunjukkan kepeduliannya dengan berkata kepada Yesus, “Mereka kehabisan anggur.” Ungkapan ini menunjukkan bahwa meskipun ia peduli, ia juga menyadari bahwa ia tidak memiliki kuasa seperti Putranya. Oleh karena itu, ia berbisik kepada-Nya.
Pernyataan Bunda Maria itu didengarkan oleh Yesus. Ia yakin bahwa Putranya akan bertindak, sehingga ia pun berkata kepada para pelayan pesta, “Apa pun yang dikatakan-Nya kepadamu, lakukanlah.” Akhirnya, tuan pesta yang semula kehabisan anggur mendapatkan anggur yang baik, berkat kepedulian Sang Bunda dan mukjizat dari Sang Putra. Hal ini mengajarkan bahwa karya baik hanya dapat terlaksana melalui kepedulian (seperti yang ditunjukkan Maria), serta komunikasi dan kerja sama (seperti yang terjadi antara Bunda Maria dan Yesus).
Sementara itu, secara terpisah, menurut Santo Agustinus, air melambangkan Perjanjian Lama, sedangkan anggur melambangkan Perjanjian Baru yang menunjuk pada Kristus. Dengan demikian, ketika Yesus mengubah air menjadi anggur, Ia ingin menegaskan bahwa kehadiran-Nya membawa keselamatan yang nyata dan membebaskan.
Kristus adalah Imam Kurban (Sacerdos – Victima)
Kristus, yang adalah sekaligus Imam dan Kurban, melalui jasa dan pahala-Nya, menjadikan Bunda Maria sebagai Bunda bagi seluruh imam. Sebab, syarat utama bagi kurban adalah kematian Kristus. Sebagaimana dikatakan oleh Fulton Sheen, “Kristus turun ke dunia bukan untuk hidup, melainkan untuk mati” (hlm. 11). (Efesus, 5:2).
Dengan demikian, ketika Bunda Maria tetap setia hingga di kaki salib, sejak saat itu, berkat Kurban Putranya, ia pun menjadi Bunda Kurban bagi para imam. Kenyataan ini membantu kita memahami makna dari ungkapan per Mariam ad Jesum—melalui Maria menuju Yesus.
Kurban Itu Telah Dimulai-Nya Sejak di Palungan dan Berpuncak pada Salib
Tentang hubungan antara Salib, Palungan dan Ruang Tukang Kayu, Sheen menulis;“Bayangan dari Salib bahkan telah ditampilkan saat di palungan dan di ruang tukang kayu”. Pernyataan ini menegaskan menegaskan bahwa sejak awal kehidupan-Nya, Yesus telah menunjukkan tanda-tanda penderitaan dan pengorbanan yang akan mencapai puncaknya di Kayu Salib. Salib bukan hanya realitas akhir dari misi-Nya, tetapi telah menjadi bagian dari perjalanan hidup-Nya sejak lahir.
Kurban dan Palungan
Yesus lahir dalam kesederhanaan dan keterasingan, ditempatkan di sebuah palungan (Luk 2:7). Palungan, yang merupakan tempat makanan bagi hewan, melambangkan bahwa Yesus akan menjadi makanan rohani bagi dunia melalui Ekaristi dan pengorbanan-Nya di Kayu Salib (Yoh 6:51). Sejak kelahiran-Nya, Ia telah mengalami penolakan karena tidak ada tempat bagi-Nya di rumah penginapan (Luk 2:7), sebagaimana kelak Ia juga akan ditolak dan disalibkan oleh manusia (Yoh 1:11).
Kurban dalam Persembahan Mur
Dalam peristiwa kunjungan para gembala dan orang majus, sudah tampak tanda-tanda penderitaan Kristus. Salah satu persembahan orang majus adalah mur (Mat 2:11), yang dalam tradisi digunakan untuk mengurapi tubuh orang yang mati (Yoh 19:39). Hal ini melambangkan bahwa kehidupan Yesus sejak awal sudah mengarah pada penderitaan dan kematian-Nya.
Kurban dalam Pekerjaan Tukang Kayu
Yesus menghabiskan sebagian besar hidup-Nya di Nazaret sebagai Anak tukang kayu, bekerja dengan kayu bersama Santo Yosef (Mat 13:55; Mrk 6:3). Pekerjaan ini bukan sekadar bagian dari kehidupan-Nya, tetapi juga menjadi simbol persiapan-Nya untuk memikul salib. Kayu yang Ia olah di bengkel tukang kayu menjadi gambaran dari Kayu Salib yang kelak akan Ia pikul di Golgota.
Selain itu, kehidupan Yesus dalam kesederhanaan dan kerja keras di bengkel tukang kayu mencerminkan ketaatan dan kerendahan hati-Nya. Ia belajar untuk taat dalam hal-hal kecil sebelum akhirnya Ia taat sampai mati di Kayu Salib (Flp 2:8).
Sejak kelahiran hingga kehidupan “tersembunyi-Nya” di Nazaret, Yesus telah mempersiapkan diri untuk misi penebusan-Nya. Palungan menjadi tanda bahwa Ia datang untuk menjadi santapan bagi dunia, sedangkan ruang tukang kayu menjadi lambang dari Salib yang akan Ia pikul demi keselamatan umat manusia.
Beberapa dasar biblis yang dapat menjadi bahan refleksi lebih lanjut antara lain: Lukas 2:7 yang menggambarkan kelahiran-Nya dalam kesederhanaan; Matius 2:11 tentang persembahan mur sebagai lambang penderitaan-Nya; Lukas 2:34-35 yang berisi nubuat Simeon kepada Maria mengenai penderitaan yang akan datang; Markus 6:3 yang menyebut Yesus sebagai tukang kayu, mengisyaratkan hubungan-Nya dengan kayu salib; Filipi 2:8 yang menegaskan ketaatan-Nya sampai mati di kayu salib; serta Yohanes 6:51 yang menunjukkan bahwa Yesus memberikan diri-Nya sebagai makanan bagi dunia.
Kristus Lebih dari Sekadar Seorang Imam dan Bukan Kurban Perwakilan
Fulton Sheen dengan tegas menulis bahwa Kristus lebih dari sekadar imam Yahudi. Imam-imam Yahudi mempersembahkan kurban darah berupa lembu, kambing, dan domba, yang terpisah dari diri mereka sendiri. Dalam sistem kurban Yahudi, imam dan kurban adalah dua realitas yang berbeda dan tidak menyatu.
Sebaliknya, menurut Sheen, dalam diri Kristus, Imam dan Kurban adalah satu dan tak terpisahkan. Itulah sebabnya Sheen menyatakan bahwa kurban yang dipersembahkan oleh imam Yahudi hanyalah kurban perwakilan, karena kurban tersebut tidak menjadi bagian dari diri sang imam yang mempersembahkannya. Sementara itu, bagi Kristus, Ia adalah sekaligus Imam dan Kurban (Sacerdos Victima)—Ia adalah Imam Agung dan sekaligus Kurban Sejati (hlm. 13).
Lebih lanjut, Sheen menegaskan bahwa kurban yang tidak berasal dari dalam diri seseorang justru menjadi tindakan dosa dan bukan penghapus dosa. Hal ini terlihat dalam peristiwa Salib, ketika para algojo menyalibkan Kristus dan mempersembahkan-Nya sebagai kurban, bukan untuk menebus dosa, melainkan sebagai tindakan dosa itu sendiri (hlm. 13). Dengan demikian, pengorbanan Kristus di Kayu Salib bukanlah sekadar kurban perwakilan, tetapi kurban sejati yang memiliki daya penyelamatan, karena Ia sendiri adalah Sang Imam dan Sang Kurban.
Dosa Ada di dalam Darah, dan Kurban Darah Kristus adalah Penghapus Dosa
Mengutip pernyataan Rasul Paulus bahwa “tanpa pertumpahan darah tidak ada pengampunan dosa” (Ibr 9:22), Fulton Sheen menegaskan bahwa dosa ada di dalam darah, tetapi kehidupan juga ada di dalam darah. Namun, karena sejak semula kehidupan Kristus dan Darah-Nya tanpa dosa (2 Kor 5:21), maka Kurban Darah Kristus menjadi penghapus dosa, sebab Ia sendiri adalah Sang Kurban Sejati, bukan sekadar kurban perwakilan (hlm. 14).
Konsep bahwa dosa ada dalam darah tampak dalam kisah Taman Eden, ketika Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa karena keinginan darah untuk menikmati buah terlarang yang dilarang Allah. Keinginan ini adalah dosa yang merusak hubungan langsung manusia dengan Allah, sehingga sejak saat itu mereka tidak lagi layak untuk berdiri di hadapan-Nya (hlm. 14).
Namun, sejak awal, Allah telah menunjukkan gambaran awal tentang kurban yang membawa keselamatan. Ketika Adam dan Hawa menyadari bahwa mereka telanjang, Allah membuatkan pakaian dari kulit binatang untuk menutupi mereka (Kej 3:21). Hal ini menjadi tanda bahwa penebusan memerlukan kurban, tetapi juga menjadi peringatan bahwa darah kurban dari kulit binatang tetap mengandung unsur dosa, karena dosa ada dalam darah.
Pemahaman ini membantu kita mengerti dosa asal sebagai dosa yang diwariskan dalam darah, yang kemudian hanya dapat dihapuskan oleh Kristus sebagai Imam dan Kurban Sejati. Secara sakramentologis, dosa asal dihapuskan melalui Sakramen Permandian, yang berakar pada Kurban Kristus di Kayu Salib, ketika Darahdan Air mengalir keluar dari lambung-Nya (Yoh 19:34). Dengan demikian, melalui pengorbanan-Nya, Kristus menggantikan darah manusia yang berdosa dengan Darah-Nya yang tanpa noda, demi keselamatan dunia.
Inkarnasi dan Keimamatan
Fulton Sheen menegaskan bahwa peristiwa Inkarnasi membawa suatu hal yang benar-benar baru dalam keimamatan (hlm. 17). Kebaruan itu terletak pada kenyataan bahwa Kristus mempersatukan dalam diri-Nya keimamatan dan kurban, sesuatu yang tidak pernah ada dalam keimamatan Perjanjian Lama. Para imam Yahudi selalu mempersembahkan kurban perwakilan, yang terpisah dari diri mereka sendiri, sedangkan dalam diri Kristus, Imam dan Kurban adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Sheen lebih lanjut menjelaskan bahwa kenyataan teologis Yesus sebagai Imam Kurban membawa konsekuensi besar bagi para imam. Jika Kristus sungguh-sungguh mempersembahkan Diri-Nya sebagai Kurban bagi dosa-dosa manusia, maka para imam pun dipanggil untuk mempersembahkan diri mereka sebagai kurban. Bagi Sheen, hal ini bukan sekadar tuntutan moral atau idealisme, melainkan sebuah kenyataan yang tidak dapat dihindari dalam panggilan imamat (hlm. 17). Dengan demikian, setiap imam, dalam mengikuti Kristus, tidak hanya berperan sebagai pelayan kurban, tetapi juga dipanggil untuk menjadi bagian dari kurban itu sendiri, menyerahkan diri sepenuhnya dalam pelayanan kepada Allah dan umat-Nya.
Kemuliaan Kekal Diperoleh-Nya Karena Ia Pernah Ada dalam Posisi Kurban
Fulton Sheen menulis bahwa Tuhan Yesus datang ke dunia untuk mati, sementara manusia datang untuk hidup. Namun, kematian-Nya bukanlah akhir, karena Ia tidak pernah berbicara tentang diri-Nya sebagai kurban penghapus dosa tanpa menghubungkannya dengan kemuliaan-Nya. Kebangkitan, Kenaikan, dan kemuliaan-Nya di sisi kanan Bapa merupakan buah dari persembahan sukarela-Nya sebagai Imam Sejati.
Menurut Sheen, kesempurnaan kemanusiaan dan kemuliaan kekal Kristus sebagai Imam diperoleh-Nya karena Ia terlebih dahulu menjadi kurban. Kemuliaan itu bukan hasil dari kehebatan moral semata, melainkan dari devosi batin dan ketaatan-Nya yang sempurna kepada Bapa. Devosi batin dan ketaatan inilah yang mematahkan pandangan duniawi, baik dari tradisi Yahudi-Romawi yang melihat salib sebagai siksaan, maupun dari pemikiran Yunani yang menganggapnya kebodohan (1 Kor 1:18,23; Ibr 12:2; Gal 3:13 bdk. Ul 21:23).
Dengan demikian, kemuliaan Kristus tidak terpisahkan dari salib-Nya, sebab melalui pengorbanan-Nya, Ia membuka jalan menuju kehidupan kekal dan menunjukkan bahwa kemuliaan sejati diperoleh melalui ketaatan total kepada kehendak Allah.
Kesimpulan
Keimamatan Kristus membawa pembaruan radikal: Ia adalah Imam dan Kurban dalam satu kesatuan. Kurban-Nya tidak hanya dimulai di kayu salib, tetapi telah tampak sejak palungan dan ruang tukang kayu. Dalam Kristus, keimamatan bukan hanya soal mempersembahkan kurban, tetapi juga menjadi kurban.
Dengan mengikuti teladan Kristus, para imam dipanggil untuk menyerahkan hidup mereka sepenuhnya dalam pelayanan kepada Allah dan umat-Nya, karena kemuliaan sejati hanya dapat diperoleh melalui pengorbanan dan ketaatan kepada kehendak Allah.
Ditulis pada Hari Sabtu Pertama dalam bukan Maret sebagai Sabtu Imam (Sabtu, 8 Maret 2025)
