Berintegritas Dalam Pelayanan

Imam dan Ibunya

Kontribusi Refleksi Teologis bagi para Imam

479

UnioKeuskupanAtambua.comImam dan Ibunyaoleh Rm. Christian Kali, Pr

Catatan Inspirasi Tulisan

Tulisan ini terinspirasi dari buku Imam Bukan Miliknya Sendiri karya Fulton J. Sheen yang diterbitkan pada tahun 2018 oleh Komisi Seminari KWI. Setelah membaca seluruh tulisan Fulton Sheen tentang imam dan imamat, saya berhenti pada bagian terakhir tentang imam dan ibunya.

Pertama-tama, imam melepaskan cinta duniawinya terhadap perempuan, sebagaimana Maria melepaskan cinta duniawinya terhadap pria: “Aku belum bersuami” (Luk. 1:34).

Menurut hemat penulis, ulasan Fulton Sheen tentang imam menukik ke dalam diri sebagai imam, dan terutama akan kekayaan persatuan hidup imam dan ibunya, imam dan Bunda Yesus. Sebab, setiap imam memiliki dua ibu, yang satu ibu jasmani, yang satunya lagi ibu rohani.

Maria adalah Bunda para imam. Dari peran spiritual ini, terdapat dua cinta yang selalu ada di kehidupan Maria, cinta akan kehidupan Puteranya dan cinta akan kematian Puteranya.

Cinta akan kehidupan Puteranya berlangsung dalam spiritualitas “sikap pasrah total”:
“Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataan-Mu” (Luk. 1:38).
Cinta akan kematian Puteranya jelas nyata pada kesetiaan Bunda hingga di kaki salib:
“Dan dekat salib Yesus berdiri ibu-Nya…” (Yoh. 19:25).

Dua dimensi cinta itu mengakomodasi kenyataan teologis bahwa setiap imam di dalam hidupnya selalu ingin diletakkan di dalam pelukan Maria. Spirit ini sama seperti seruan Yesus kepada murid yang dikasihi dan kepada ibu-Nya yang menegaskan tentang kesatuan erat antara murid dan ibu, melalui ungkapan: “Ibu, inilah anakmu! Lalu kata-Nya kepada murid itu: Inilah ibumu!” (Yoh. 19:26-27).

Saya teringat sharing orang tua pada waktu Triduum sebelum tahbisan imam pada 22 Februari 2022 silam. Kepada ibu saya diajukan satu pertanyaan oleh romo pendamping:“Kapan Mama sadari bahwa anak ini kelak akan menjadi imam?” Mama saya menjawab, “Waktu itu anak saya ajuda Misa Krisma dan peresmian Paroki Haekesak. Ia bertugas memegang tongkat uskup. Waktu misa berlangsung, saya melihat dia berbeda, seperti layaknya seorang imam. Hari itu saya mendoakan dia untuk menjadi imam.”

Bagi saya, ungkapan ini seharusnya menjadi rahasia ibu dan Tuhan. Namun, cerita itu menyadarkan saya bahwa ibu jasmani saya pada saat itu atau waktu sebelumnya telah memohon kepada Bunda Kristus untuk membuat puteranya suatu hari memegang hosti dan piala di tangannya.

Entah bagaimana perasaan ibu sekarang setelah melihat puteranya merayakan Ekaristi, bahkan kedua puteranya sebagai imam.

Tulisan ini semacam kutipan singkat dari uraian panjang Fulton J. Sheen tentang imam dan ibunya. Semoga menjadi buah refleksi bagi setiap orang yang membacanya.

Cinta Imam adalah Pelayanan

Dengan menyerahkan anaknya menjadi imam, apakah ibu duniawi rela tidak memiliki menantu dan cucu?

Pertama-tama, imam melepaskan cinta duniawinya terhadap perempuan, sebagaimana Maria melepaskan cinta duniawinya terhadap pria: “Aku belum bersuami” (Luk. 1:34).

Sejak awal mula, para imam tahu bahwa cinta merupakan suatu penegasan dan penolakan secara bersamaan. Ibu duniawi tahu dengan menyerahkan puteranya, ia menginginkan puteranya menjadi milik Allah.

Imam tidak dapat Hidup tanpa Cinta

Dalam cinta, imam akan menjadi seorang “ayah” yang melahirkan orang-orang lain dalam Kristus. Cinta itu akan sama dengan cinta yang dimiliki oleh Maria, api dan hasrat dari Roh Kudus akan menaungi para imam.

Sebagaimana di dalam diri Maria terjadi persatuan antara keperawanan dan keibuan, demikian di dalam diri imam akan ada persatuan antara keselibatan dan kebapaan. Hal ini bukanlah kemandulan, melainkan kesuburan. Bukan kehampaan cinta, melainkan kegembiraan yang meluap-luap.

Kunjungan Imam kepada Orang Sakit

Setiap imam adalah pelayan Tuhan. Maria menjadi teladan bagi para imam bahwa Kristus yang ada di dalam diri mereka harus segera melaksanakan pembaktian sepenuhnya bagi “mereka yang mengasihi kami dalam iman” (2 Tim 4:10), dan kepada seluruh umat manusia.

Sebagaimana kunjungan Maria menguduskan Yohanes Pembaptis, demikian pula kunjungan dari para imam-kurban akan selalu menguduskan jiwa-jiwa.

Dengan membawa Sakramen Mahakudus di dadanya, baik dengan mobil atau berjalan kaki, imam menjadi Maria yang membawa Kristus yang tersembunyi di dalam tubuhnya yang murni.

Imam yang kudus mengilhami Magnificat di dalam setiap kunjungannya ke orang sakit, sebagaimana keluarga-keluarga di paroki berkata kepadanya:“Siapakah aku ini sampai Kristus yang lain datang mengunjungi aku?” (Luk. 1:43).

Imam dan Bunda Maria

Imam memiliki cinta yang dalam kepada Maria bukan hanya di saat-saat baiknya, tetapi juga di saat-saat kejatuhannya. Imam mempercayakan dirinya dalam perantaraan Maria untuk memberantas kelemahannya.S

Saat imam menyadari dirinya jauh dari Tuhan dan dekat dengan kepopuleran duniawi, mestinya ia tahu ke mana harus pergi untuk menolong dirinya. Imam harus pergi ke Maria.

Di pesta pernikahan di Kana, Maria mengajarkan kepada para imam betapa besar mereka itu milik Gereja dan betapa sedikitnya milik mereka sendiri.

Semakin dekat imam berada pada misi Kristus, semakin ia mencintai jiwa di dunia. Sebagaimana Maria “menjadi ibu” bagi semua manusia di kaki salib, demikian pula imam “menjadi bapa” bagi mereka.

Devosi kepada Bunda Maria

Devosi kepada Bunda Maria menjaga imam dari menjadi orang sewaan, seorang pelayan dengan jam terbatas, tugas yang telah ditetapkan, dan batas-batas daerah paroki. Tidak ada istilah “sedang bertugas” bagi seorang imam. Ia sedang mengasihi di mana-mana—di kebun, di rumah makan, di rumah sakit. Setiap jiwa adalah orang yang berpotensi untuk bertobat atau menjadi seorang kudus.

Maria dan Kematian Imam

Maria hadir di saat kematian para imam. Berjuta-juta kali para imam telah meminta Maria untuk berdoa bagi mereka pada waktu kami mati.

Setiap hari imam menyatakan kematian Tuhan di dalam perayaan Ekaristi (1Kor 11:26), dan sekarang tiba jam kematiaan.

Saat jam kematiaannya, imam melihat salib di hadapannya dan dapat mendengar sekali lagi Yesus berkata kepadanya: “Inilah ibumu” (Yoh. 19:27). Dua kata yang akan terucap berulang kali dari bibir imam adalah Yesus dan Maria. Selama ini ia selalu adalah seorang imam, dan sekarang pada akhirnya dalam kematiaan, ia juga seorang kurban. Dua kali Imam Agung yang besar telah menjadi kurban, yaitu saat masuk ke dunia dan saat meninggalkannya.

Maria berada di dua altar yakni di Betlehem dan Kalvari. Maria juga berada di altar imam di hari pentahbisan, dan sekarang ia berada bersamanya di saat kematiannya.

Akhirnya, seluruh refleksi ini menghantar para imam untuk mengakui bahwa tidak seorang imam pun milik dirinya sendiri.

Ia milik Bunda Yesus, sekali dan selamanya Imam-Kurban.

Penulis : Rm. Christian Kali, Pr

Editor : Rm. Yudel Neno, Pr

Leave A Reply

Your email address will not be published.